Pengunjung Blog

Rabu, 19 Januari 2011

TERGERUSNYA PASAR TRADISIONAL OLEH SISTEM KAPITALISME

 OLEH: ABDUL KHOLIQ*
RENOVASI pasar Dinoyo dan pasar Blimbing oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Malang  akan menuai polemik di masyarakat. Pasalnya, kedua pasar tradisional ini, disinyalir akan dijadikan pusat pembelanjaan modern atau sebuah apartemen.
Pasar Dinoyo yang terdapat 1.398 kios dan pasar blimbing sebanyak 2.019 unit lapak, akan disulap menjadi pusat pembelanjaan dengan gedung mega. Dengan kucuran dana yang fantastis, untuk merenovasi pasar tradisional ini, tidaklah sulit bagi pemerintah kota Malang. Lihat saja konsorsium PT Citra Gading Asritama Surabaya telah menyiapkan dana segar 191,8 M, sedangkan pasar  Blimbing oleh PT. Karya Indah Sukses, PT Fortunindo dan PT Raka Utama Surabaya dengan nilai investasi Rp. 249,3 M (18-04-’10, Radar Malang)..
Namun, diluar kemudahan pemkot Malang dalam merenovasi pasar itu, sejatinya menyimpan sebuah persoalan besar. Desiran hati ini bertanya, siapa yang dilimbungkan dan siapa yang diuntungkan dari proses ini?. Bisa dipastikan pedagang yang telah menghuni lapaknya sekian tahun akan semakin terpinggirkan, ketika sewa maupun harga jual stand setelah pasar tradisonal direnovasi menjadi lebih mahal. Bayangkan setiap lapak pasar Dinoyo akan dibebankan sebesar 6 juta sampai 52,5 juta.
Apalagi keberadaan kedua pasar ini akan digeser, dimarjinalkan yakni di letakkan di belakang pasar modern (mal atau apartemen). Tentunya sangat mempengaruhi para pedagang, yakni menyempitkan pendapatan para pedagang. selain itu, dapat menimbulkan kesenjangan sosial, dimana kaum kaya bisa memiliki lapak berukuran lebih atau lebih dari satu kios.
Lantas, bagaimana dengan nasip para pedagang kecil, seperti jual sayur, palawija, empon-empon yang sekian tahun menempati pasar ini? Menyitir dari Prof Dr Hotman Siahaan “pedagang tradisional ini tergolong masyarakat yang mandiri secara sosial ekonomi. Mereka bisa cari makan sendiri, selama ini tanpa bantuan dari pemerintah”. Penulis khawatir renovasi pasar justru akan mematikan mata rantai hidup pedagang. lantas, kepada siapa rakyat nantinya menggantungkan hidupnya? Tatkala pasar tradisional semakin tergerus.
Pernyataan ini yang harus dipikirkan, selanjutnya dipertimbangkan para pemegang kendali kota Malang. Selama ini pasar tradisional merupakan kekuatan ekonomi rakyat. Dimana masyarakat yang ekonominya lemah, pasar tradisional-lah yang bisa menjangkau pundi kantongnya. Sebab, pasar tradisional dapat menjembatani kesenjangan sosial, antara miskin dan kaya. Di pasar tradisional pula ada moda interaksi (transaksi) antara penjual dan pembeli.
Dalih relokasi, revitalisasi atau renovasi pasar tidak terjadi di Malang saja. Melainkan, diberbagai daerah di Jawa Timur. Pasar Babat Lamongan, misalnya, setelah direnovasi oleh investor, ada imbas terhadap pedagang, lapak yang disediakan ditarif dengan retribusi mahal (kompas, 21-01-‘10). Maka tidak mustahil para pedagang di pasar Dinoyo dan Blimbing akan mengalami seperti halnya di pasar Babat, atau bahkan tergusur habis.
Dalam konteks praksis di Malang, sistem kapitalisme telah merasuk dalam birokrasi pemerintahan. Ketika uang menjadi bahasa politik, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan atau dimiskinkan dalam keserakahan orang kaya baru. Idealisme pemilih (rakyat) dirobohkan, otoritas Pemilihan Umum Daerah dihancurkan, karena nilai-nilai investor bisa mendikte kebijakan politik.
Sinergi antara investor dan penguasa yang menjadi pintu masuk bagi korupsi politik pada akhirnya harus membayar mahal oleh pelemahan institusi penegak hukum. Institusi ini bukan saja mewarisi penyakit lama sebagai mafia hukum, tetapi dalam perkembangannya dilemahkan oleh otoritas politik untuk menutupi korupsi politik.
Sistem kapitalisme juga akan selalu menciptakan laba tinggi. Berarti bahwa perusahaan kapitalis harus, antara lain, terus-menerus mencari area geografis (pasar) baru untuk mengeksploitasi dan menemukan cara yang lebih lengkap untuk mengeksploitasi area dimana mereka telah beroperasi. Contoh gamblangnya berdirinya Matos dan MoG, dan tinggal menunggu waktu matos-matos lainnya.
Perlu menjadi pertimbangan, sebab pada dasarnya setiap warga dari sebuah masyarakat-bangsa memiliki hak yang sama, dan karena hak yang sama itu maka tidak bisa diterima sekelompok lain memaksakan kehendaknya semau sendiri, tanpa memperdulikan kepentingan warga yang lain. Dari hal seperti ini, lalu muncul soal mayoritas/minoritas, dan pada akhirnya masalahnya disepakati bahwa arah yang ditekankan itu haruslah selalu bisa dipertanggungjawabkan oleh pihak yang berkuasa.
Terlepas dari itu, tujuan umum dari politik tidak lain adalah mencegah agar saat berkuasa (pemerintah) tidak akan sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya dan dilain pihak kewajiban pemerintah itu agar menjaga kesejahteraan masyarakat secara keseluruan.    
Semua masyarakat mendambakan keadilan sebagai unsur hakiki peradaban dan kebudayaan. Namun, keadilan dalam makna sempurna (benar-benar adil) memang sulit, bahkan mustahil untuk dihadirkan. Hal ini sama dengan keadilan yang diberikan kepada pedagang kecil dengan para pemodal ada kesenjangan atau jarak yang sangat jauh. Makna keadilan itu nisbi sambil tak pernah jelas mengenal batasan pemilah antara yang dianggap adil dan tidak adil.
Oleh karena itu, wali kota, DPRD, jika masih memiliki kepedulian terhadap perbaikan kehidupan rakyat kecil. Ingat fondasi demokrasi terletak pada rakyat, “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dengan demikian, pemerintahan harus digerakkan demi rakyat, bukan sekedar elite politik dan ekonomi


*Pegiat Center for Religious and Social Studies (RëSIST) dan
Aktivis IMM Cabang Malang

Sabtu, 08 Januari 2011

MUHAMMADIYAH DAN GELIAT MASYARAKAT PERKOTAAN

Dalam beberapa minggu ini di kota Yogyakarta, terdapat spanduk-spanduk bertebaran dalam rangka menyambut Muktamar Muhammadiyah Satu Abad. Mengamati sejarah berdirinya Muhammadiyah ( 1912 ) memang dari telaah sosiologis masyarakat perkotaan di Yogyakarta.

Dalam cakupan teori budaya, Muhammadiyah memang terletak dalam center of veri-veri. Namun seiring perkembangan kota-kota khususnya di Sumatra dan Jawa, Muhammadiyah cukup subur di ranah perkotaan. Sebaliknya masyarakat perkotaan cukup mengalami pragmatisme yang sungguh rasional. Kendaraan bermotor yang lalu lalang, kereta api yang setiap hari lewat, jam kerja yang harus dipatuhi, jam pendidikan dimana setiap siswa dan mahasiswa harus pergi dengan kendaraan, transaksi bisnis dan perdagangan, jasa transportasi yang begitu padat, dan lain sebagainya.

Membuat masyarakat perkotaan cukup kering dengan spiritual yang ada sehingga menerima ajaran keagamaan dengan apa adanya ( taken for granted ). Belum lagi efek liberalisme pasca reformasi membuat Islam Indonesia melahirkan gerakan-gerakan baru seperti : Tarbiyah, Hizbut Tahrir, dan gerakan Wahhabi. Mereka memang lahir dari rahim masyarakat perkotaan. Hiruk pikuk masyarakat perkotaan membuat orang menjadi instant menerima penafsiran keagamaan sehingga yang terjadi adalah klaim kebenaran absolut.

Dari penjelasan diatas dapat dimaklumkan bahwa Muhammadiyah cukup stagnan dengan menghadapi tantangan zaman yang ada. Wajar apabila Muhammadiyah saat ini masih terjerembab pada persoalan halal maupun haram tanpa memikirkan pertimbangan geografis-sosiologis. Bayangkan untuk contoh kasus fatwa haram rokok, beberapa kader Muhammadiyah di Bojonegoro dan Deli terpaksa keluar karena mereka masih mempunyai mata pencaharian dari tembakau itu sendiri. Ini disebabkan karena tidak adanya pengkajian-pengkajian yang komparatif didasarkan ilmu pengetahuan.

Majelis ilmu yang berada di akar rumput Muhammadiyah cukup terjebak pada teologi gado-gado semata dan generasi mudanya pun kehilangan spirit-intelektual sehingga terpatok pada persoalan rutinitas-struktural dan teknis-pragmatis. Pola klasik rutinitas-struktural membuat pengurus Muhammadiyah nyaman dengan rumah besarnya sendiri sehingga tidak akomodatif dengan hal yang baru.

Selanjutnya adalah persoalan generasi muda yang ada di tubuh Muhammadiyah yang telah kehilangan nilai perjuangan yang berupa kesederhanaan dan keprihatinan. Semua didukung dengan fasilitas yang cukup mapan dari Muhammdiyah sehingga kader muda Muhammadiyah jarang keluar dari zona nyaman alias keluar dari struktural. Basis-basis kultural dianggap tidak memberikan pengaruh karena tidak memberikan bukti. Lain dengan struktural yang memberikan bukti yang terdata. Padahal basis-basis kultural tetap memberikan pengaruh dalam ranah pemahaman dan aksi.

Kedua, hilangnya identitas kultural Muhammadiyah cukup berpengaruh bagi generasi mudanya. Misalnya adanya pengajian tanpa pengkajian. Hal ini cukup berpengaruh, karena tidak adanya dialog antara kitab-kitab klasik dengan kitab-kitab kontemporer sehingga hanya terdapat justifikasi semata. Karena mayoritas kader muda Muhammadiyah berasal dari sekolah-sekolah dan pesantren modern perkotaan. Maka mereka mereka kurang mengenal bagaimana antara kitab klasik ( kitab kuning ) dengan kitab kontemporer ( kitab putih ) saling melengkapi bukan saling menutup diri dan saling mengisolir.

Hal ini terjadi ketika Muhammadiyah menyerukan tachayul, bid’ah, churafat ( TBC ) sontak seluruh hal-hal bersifat mitos dihilangkan. Padahal mitos tidak dapat dipungkiri dan selalu terjadi pada diri manusia yang selalu memerlukan simbol. Di satu sisi mitos mempunyai fungsi menjaga lingkungan. Untuk kasus di Gunung Kidul saja pohon-pohon ditebangi karena telah terkena iklim eksploitasi dan kepercayaan mitos masyarakatnya telah hilang. Padahal dengan adanya mitos tersebut justru membuat alam sekitar tersebut terjaga sehingga daya serap air tetap mengalir. Bagaimana Muhammadiyah menghadapi tantangan tersebut dengan pertimbangan ekologis. Menurut pengamatan penulis belum ada.

Terakhir dalam opini ini, bahwa Muhammadiyah telah kehilangan daya kreativitasnya. Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah masih bersifat normatif. Amati saja dulu tahun 1994an, Muhammadiyah mempunyai strategi dengan pendekatan keolahragaan sekarang sudah lenyap, seperti : Persatuan Bola Hizbul Wathan ( PS HW ). Mestinya jika Muhammadiyah mengusung gerakan pembaruan, sekarang akan ada komunitas-komunitas keolahragaan seperti : bola basket, voli, dan lain-lain yang mengasah generasi muda untuk selalu bekerja dalam satu tim ( teamworks ). Juga patut digagas strategi dengan pendekatan kesenian yang identik dengan Muhammadiyah. Harapannya dengan momentum muktamar ini, Muhammadiyah selalu dinamis untuk menghadapi tantangan zaman dan ruang. Semoga.

oleh: Ahmad Mujahid Arrozy (teman UGM dan aktivis IMM)

BERSAMA (SEPAK BOLA) KITA BISA?

OLEH : ABDUL KHOLIQ*

EUFORIA sepak bola menyeruak diranah publik. Minggu-minggu kemarin, kita dihadapkan pada dua puluh dua lelaki saling berjuang (berebut) bola, demi mengharumkan negerinya. Melajunya Timnas ke final piala AFF dengan nilai sempurna, patut kita apresiasi tinggi. Walaupun, pada akhir perjalanan timnas menuju tangga juara terhenti oleh Malaysia.

Turnamen AFF benar-benar telah menyita perhatian jutaan rakyat Indonesia. Harapan masyarakat yang begitu besar, untuk bisa membawa pulang piala ke pangkuan pertiwi sunggu di nantikan. Dalam posisi bangsa (yang) mulai terkikis dari “percaturan” asia tenggara/dunia, melalui media (baca: sepak bola) ingin mengembalikan identitas diri, sebagai bangsa diperhitungkan.

Di tengah bangsa tertatih, kemiskinan cenderung bertambah. PHK pekerja akibat krisis yang dialami perusahannya, penggusuran PKL yang mayoritas menjadi tempat orang miskin untuk mengais rezkinya, eksploitasi alam besar-besar oleh perusahaan yang mengakibatkan rakyat miskin makin terpinggirkan. Kira-kira prestasi timnas, sebagai pelipur lara. Tak pelak, sporter mencari “obat” rela mengantri tiket, berdesakan demi menyaksikan tim Garuda. Semua canel televisi tertuju pada timnas. Benar-benar bangsa haus akan kebanggaan.

Pekikan “saatnya Indonesia juara”, pudar setelah tak mampu mengejar defisit gol dari Malaysia. Walaupun pada penysisihan Garuda Indonesia mampu menggebuk Macan Malaysia 5-1. Pertanyaanya siapa yang patut dipersalahkan dalam kegagalan timnas?
Diakui atau tidak, budaya instan telah merasuk dalam rana sepak bola kita. PSSI lebih memilih naturalisasi sebagai jalan pintas, untuk melakukan perubahan. Memang tidak salah dengan naturalisasi. Ironisnya, bangsa besar ini, ternyata kesulitan mencari sebelas pemain sepak bola. Berbeda halnya dengan Malaysia, lebih memilih mempersiapkan putra pribumi sejak dini. Tatkala pragmatisme berkubang di segala lini kehidupan, sekaligus merambah pada ranah sepak bola. Maka, tidak lain olah raga (sepak bola) mengalami pergeseran nilai menjadi primitivisme.

Dalam konteks sejarah, awalnya olahraga tidak seperti yang kita lihat seperti saat ini. Tetapi jauh lebih ‘primitif”. Bidang ini hakikatnya merupakan modal dasar untuk peperangan. Dengan olahraga, ketahanan fisik terjaga dan kekuatan bertambah.
Dua hal yang sangat diperlukan ketika bangsa-bangsa terlibat dalam peperangan. Adalah bangsa Sparta yang kemudian melakukan revolusi besar-besaran terhadap makna olahraga. Lempar lembing tidak lagi menjadikan manusia sebagai sasaran. Demikian juga dengan halnya panahan. Mereka sudah memodifikasi olahraga ini dengan mengganti sasaran. Singkatnya, bangsa Sparta memperkenalkan “olahraga” samber nyawa menjadi ajang mengukir prestasi dan keunggulan, jauh lebih beradab, naluri manusia menjadi unggul dan saling mengalahkan tetap tersalur.

Dalam perkembangannya, olahraga tidak lagi semata-mata didorong keinginan untuk mengalahkan. Jiwa olahraga mulai dirasuki pertarungan sebagai kepentingan. Tidak mengedepankan kesehatan jiwa dan raga. Melainkan dilirik sebagai peluang meraih keuntungan materi. Olahraga menjadi industri bercampur ambisi, gengsi dan prestasi. Kepentingan ekonomi, politik, social dan lainnya mulai menjadi determinan yang begitu dominan.

Olahraga kembali menjadi “primitif”. Semangat “mengenyahkan” tanpa disadari kembali menyeruak. Kredo “membunuh” lebih mengemuka. Apapun dilakukan dan segala cara menjadi sah-sah saja, demi mengejar ambisi. Maka intrik, tipu muslihat, menjadi strategi. Sepak bola misalnya, (yang) selama ini, (maaf) identik dengan olahraga “keras”. dalam bermain, tidak lagi sekadar menendang bola, pantat, dada dan kaki lawan diseruduk, ditendang diberlakukan seperti bola.

Maka kemudian, siasat sinar laser, menebarkan bubuk gatal, tidak lain adalah kredo membunuh demi mengejar ambisi gengsi, dan prestasi. Namun, apakah benar bahwa siasat tersebut adalah paling mendasar, menyebabkan kekalahan timnas kita? Sepanjang permainan di GBK, laju permainan kita tak terhentikan oleh tim manapun. Tatkala, saat tandang ke luar (away), para pemain kita seolah kehilangan kendali. Dari disini, identifikasi kelemahan harus segera dibenai?

Setelah AFF ini, semestinya sebagai titik balik bagaimana olahraga (baca: sepak bola) kembali kepada fitranya yakni mengedepankan nilai kesehatan jiwa dan raga itu sendiri. Pengamat sepak bola menyebut sukses ini, memilki arti penting, bagi sepak bola nasional. Atau merambah dalam kehidupan bangsa lebih luas.
Hal yang patut dijadikan point of view dari tim Garuda kita. Pertama, semangat nasionalisme; perjuangan pemain garuda di lapangan, mentransformasikan rasa cinta kepada tanah air kian membumbung tinggi dan berlipat.

Adakah yang salah bila kita memuja, mengidentifikasikan diri kita dengan tim merah putih, ketika bertarung di gelanggang olahraga regional atau internasional? Sama sekali tidak ada yang salah. Memang seharusnya demikian. Akan tetapi, nilai nasionalisme sepakbola kita akan menjadi nasionalisme dangkal dan hanya bersifat simbolik, tatkala hanya bersifat kasat mata, atau pupus sudah sampai disini.

Ibarat sebuah rumah, sepak bola bagaikan pajangan window show yang lansung bisa dilihat oleh setiap orang. Beranjak dari situ, diharapkan nasionalisme ini merasuk ke perabot “dapur” (republik) ini; ada ikatan erat dengan nasionalisme ekonomi, nasionalisme politik, nasionalisme pertahanan keamanan, nasionalisme pendidikan dan nasionalisme kehidupan lainnya. Oleh karenanya, spirit inilah yang harus dijadikan momentum kebangkitkan kita bersama menuju kejayaan.

Kedua, adalah nilai kedisiplinan peran arsitek strategi (pelatih), keberhasilan tim garuda, tidak lepas dari Alferd Riedl. Pelatih 61 tahun ini, mampu “meramu” pemain muda dan pemain veteran, selain itu adalah sikap ketegasan beliau. Siapapun (pemain) yang bermain tidak sungguh demi bangsa dan negara, maka tidak segan mencoret dari tim kesebelasan. Boaz Salosa bukti nyata ketegasannya, walaupun pemain Persipura ini memiliki raport bagus. Bagi Riedl, tidak ada gunanya tatkala pemain hanya setengah hati membela bangsanya.

Ketika, dua energi ini. Tidak (di)lanjutkan pemimpin dalam “meramu” bangsa. Jangan berharap bangsa kita akan cemerlang seperti timnas Indonesia sekarang ini. Sepatutnya, jiwa nasionalisme dan ketegasan mengalir deras dalam aliran darah serta tarikan nafas para pemimpin bangsa kita. Terlalu banyak masalah bangsa yang harus diselesaikan sekarang ini.

Akhir kata, tanpa tendeng aling-aling pemimpin harus tegas menindak pejabat yang berani masuk zona kritis (korupsi), menindak koruptor tanpa pandang buluh, demi tegaknya konstitusi negara. Tanpa dua energy berkekuatan “bom neutron” tersebut, rasanya sulit bagi pemimpin bangsa untuk mengurangi penderitaan hidup rakyat. Kiranya, rakyat kian lebih cinta pada tanah air, manakalah melihat “perabot” dapur (republik) ini indah, bebas dari korupsi, kemiskinan berkurang, tertanganinya pengangguran, serta tegaknya hukum. Dalam nada satir, saya teringat bersama kita bisa. Kita lihat saja, perubahan apa selepas pagelaran piala AFF ini?

*Penikmat sepak bola dan Peneliti Center for Religious and Social Studies (RëSIST),

Malang

MEMPERTANYAKAN PARKIR BERLANGGANAN

OLEH: ABDUL KHOLIQ*

Kasus mafia pajak yang menyangkut Gayus Tambunan serta menyeret sejumlah Petinggi Polisi, menggelitik hati saya. Sehingga timbul pertanyaan nakal, apakah retribusi parkir berlangganan di Kabupaten Lamongan ada kesamaan dengan modus itu yakni diplintirkan? Pertanyaan itu muncul karena sejauh ini masyarakat telah diwajibkan membayar retribusi sebesar Rp. 20.000 setiap perpanjangan STNK.

Ironisnya, ketika masyarakat sudah melakukan wajib pajak, tidak dibarengi dengan adanya pelayanan dinas terkait, yang diberikan kepada masyarakat Lamongan. Dalam artian, masih ada kegamangan, ketidakjelasan areal parkir yang dimaksud, dimana masyarakat harus merasakan bebas parkir.

Menurut saya apabila hal ini dibiarkan, apa bedanya dengan kasus Gayus Tambunan itu, tidak ada bentuk transparansinya. Kekecewaan itu muncul, sebab ada dan tidaknya parkir berlangganan tidak berpengaruh, tidak menjamin bagi masyarakat, apalagi menguntungkan bagi rakyat. Sebab, masyarakat tetap harus merogoh kocek untuk jukir, padahal parkir berlangganan sudah dibayar. Lantas, dimana letak pelayanan, pemihakan pada rakyat?. Kebingungan saya juga mempertanyakan, apakah ini bentuk pajak atau retribusi.

Ketika berbicara retribusi, sepatutnya ada jasa yang bisa dinikmati. Contoh: retibusi kebersihan, masyarakat telah membayar retribusi tersebut kepada Dinas Kebersihan, disana ada mutualisme yaitu adanya pelayanan kebersihan. Nampaknya, parkir berlangganan ini belum tahu kejelasan seperti apa?

Menyitir dari Iklan pajak, setiap orang yang ingin jadi patriot bangsa, caranya mudah dan gampang cukup membayar pajak dengan jujur jadi deh… atau dengan jargon “hari gini tidak membayar pajak, apa kata dunia” Luar biasa, membayar pajak mampu membangun karakter bangsa. akan tetapi apabila tidak diimbangi dengan kejujuran para petugas dan penguasa, nampaknya mencederai sendiri jargon agung tersebut.

Oleh karena itu, tatkalah masyarakat sudah tertib pajak (parkir berlangganan), pemegang kendali seharusnya “tertib” tidak adem ayem, tanpa memikirkan pelayanan terhadap masyarakat. Disinilah yang harus dipertegaskan sekaligus diperjelas, sehingga masyarakat tidak hilang rasa kepercayaan kepada penguasa terkhusus Dinas Perhubungan Lamongan. Lewat surat pembaca ini semoga ada bentuk tindakan dari pemerintahan Lamongan. Tentunya kami tidak ingin ada Gayunisasi pada retribusi parkir ini. Apa kata dunia, jika tidak ada pelayanan dari hasil pajak (retribusi parkir berlangganan).

*Desa Karangtawar-Laren-Lamongan, aktivis IMM UIN Maliki Malang

MEMAKNAI AGAMA SEBAGAI KRITIK SOSIAL

Oleh : Abdul Kholiq*

Judul buku : Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan
(Menuju Demokrasi dan Kesadaran Bernegara)
Penulis : Dr. Moeslim Abdurrahman
Penerbit : Impulse
Cetakan : I, 2009
Tebal : 296 Halaman


KUALITAS keimanan atau tingkat kesalehan spiritual seseorang seringkali dilihat dari sisi ibadah formal. Meningkatnya jumlah jama’ah haji dari tahun ke tahun bahkan ada yang lebih dari sekali atau dua kali berhaji, makin ramainya masjid dikerumuni oleh jama’ah sholat, dan makin kencangnya hembusan suara bacaan al-Qur’an disaat bulan ramadhan, mempercantik masjid sebagai rumah impian di surga.

Hal tersebut menjadi indikakator kesadaran seorang dalam beragama.
Namun, kenyataan tersebut tidak sejalan atau berbanding lurus dengan mengurangnya jumlah kemiskinan bahkan cenderung bertambah. PHK pekerja akibat krisis yang dialami perusahannya, penggusuran PKL yang mayoritas menjadi tempat orang miskin untuk mengais rezkinya, eksploitasi alam besar-besar oleh perusahaan yang mengakibatkan rakyat miskin makin terpinggirkan.

Ditambah lagi dengan keterbatasan akses politik, sosial dan ekonomi bagi mereka, makin menambah kesulitan orang miskin untuk memperbaiki kehidupannya. Lantas, dimanakah peran agama secara individual maupun institusional/ organisasional?. Orang yang mengaku beragama ketika memegang kekuasaan, dimanakah kebijakan yang institusional yang lebih memberikan akses bagi kaum miskin?

Kegelisahan keagamaan tersebut kiranya terjawab dalam buku Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan, yang ditulis DR. Moeslim Abdurrahman, walaupun belum sampai pada kesempurnaan (masih terbuka ruang diskursusnya). Bagi Moeslim, sosiolog yang hidupnya bergelut dalam dunia Pemberdayaan, LSM dan Ormas, makna Islam yang paling murni bukanlah terletak pada rumusan teologisnya (apalagi yang dibukukan para ulama), tetapi muncul dari pergulatan hidup sehari-hari para umatnya untuk menegakkan keadilan, keadaban (amar ma’ruf), dan menghidupkan cita-cita kemanusiaan yang merdeka, bebas dan terhormat (nahi ‘annil munkar) (h. 7).

Buku tersebut sangat menggelitik determinasi faham keagamaan kita selama ini. Tidak cukup dengan itu, manifestasi prilaku keagamaan yang selama ini kita anggap benar, seperti memperkaya ritual keagamaan, sholat dan haji, mempercantik wajah dengan berjilbab, menemukan titik kering fungsi keagamaan kita ketika membaca buku ini.

Kesalehan ritualistik sekarang ini lebih banyak dipertontonkan dengan ungkapan yang mahal dan bergengsi (seolah-olah menjadi gaya hidup) dibanding sebagai sebagai kekuatan yang asketik tentang pentingnya menegakkan nilai-nilai kesetaraan yang lebih manusiawi. Lebih lanjut, bagaimanapun khusuknya ibadah kita, sebuah kesalehan tak akan memberikan makna yang sejati, jika kesalehan itu tidak mengalirkan makna perubahan. Mengamalkan Islam, mengamalkan kesalehan, adalah sama halnya melakukan kritik sosial dalam rangka menghidupkan terus-menerus cita-cita keadilan dan kesetaraan manusia itu sendiri. Kata Doktor lulusan University of lllinois, Urbana, Amerika Serikat ini.

Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah argumentasi sosial yang transformatif, didasarkan pada rasional-obyektif, kenyataan sosial, pengalaman hidup orang lain maupun penulisnya sendiri ketika bersinggungan dengan kemungkaran sosial yang dihadapinya. Bukan pada refleksi teologis yang fiktif, ahistoris dan utopis, tetapi dialektika teks-teks suci dengan kenyataan riil kaum pinggiran, kaum mustadh’afin. Sehingga, tidak berlebihan kiranya buku Suara Tuhan Suara Pemerdekaan, menemukan relavansinya dalam memberi konstribusi penyelesaian kehidupan sosial kita.

Dalam buku ini, Moeslim mengatakan dan sekaligus menawarkan bahwa Islam bersuara transformatif . Islam lahir sebagai kritik sosial terhadap hegemonitas struktur sosial yang tidak adil yang membuat marginalisasi kaum pinggiran. struktur yang tidak adil juga membatasi akses perubahan bagi kaum marginal. Kang Moeslim selalu mengkategorisasikan tiga tingkat kemiskinan, kemiskinan institusi politik, kemiskinan institusi ekonomi, dan kemiskinan institusi keagamaan. Kaum pinggiran tidak diberi kesempatan untuk memutuskan sendiri.

Karakter normatif Islam pada dasarnya bersifat populis dan egaliter, yaitu bahwa setiap manusia dilahirkan mempunyai peluang yang terus menerus untuk mendapatkan tingkat ketakwaan yang sama dihadapan Tuhannya. Sehingga apapun hambatan struktur sosial yang mengitari seseorang, jika seseorang tersebut diberi peluang mengubah nasibnya , maka ia akan muncul sebagai human agency yang dapat mengubah hambatan struktur tersebut.

Dalam mewujudkan perubahan transformatif, dengan kepercayaan setiap manusia memilki kemampuan sendiri, tidak ada manusia yang serta merta mati dalam strukturnya karena kehidupan pada dasarnya merupakan proses sejarah yang terus menerus bergerak dan pergerakan sejarah sesungguhnya merupakan pergulatan antara “kesadaran” yang terus menerus melakukan negosiasi dengan kemapanan struktur sosial, ekonomi dan politik “ungkap Moeslim”.

Yang menjadi sebuah pertanyaan adalah, dari manakah perubahan harus dimulai? apakah lebih menentukan struktur atau kultur yang menguasai kehidupan umat manusia. Penulis berpendapat, bagaimanapun tetap saja relevan kalau kita tetap konsisten bahwa agama merupakan kehendak Tuhan yang meneguhkan cita-cita emansipasi sebagai tujuan ketaqwaan yang paling tinggi. Dengan demikian, teologi merupakan bentuk kesadaran manusia yang paling tinggi dengan suara keimanan dan keyakian seseorang menjadi spirit pemerdekaan dari setiap struktur yang menindas, apapun bentuknya.

Mereka yang percaya bahwa struktur merupakan kekuatan deterministik pasti menganggap, bahwa kultur selalu tidak otonom dari struktur. Moda interpretasi dari kultur sangat dipengarui oleh moda produksi, sehingga orang-orang kaya dibandingkan dengan yang ekonominya lemah tentu mereka memproduksi makna-makna kesalehan dan ekspresinya yang berbeda berdasarkan lapisan sosial mereka.

Namun jika teologi yang berwatak pemerdekaan mampu memberikan suara perlawanan simbolik, dengan mengartikulasikan kesadaran-kesadaran penindasan yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, maka agama akan muncul sebagai kekuatan provetik dan bukan sebaliknya malah menenteramkan kesadaran palsu, bahwa orang miskin ya bagaimana tidak miskin, toh mereka memang lahir dalam struktur sosialnya yang miskin.

Karena itu, orang miskin akan tetap saja rugi di dunia dan diakhirat, sebab biarpun sebagai ”subjek” manusia mereka diciptakan sebagai rumpun yang sama, rumpun manusia yang hanif. Tetapi, karena daya beli untuk berbelanja ”kesalehan” mereka miskin, tetap mereka menjadi ”objek” dalam pembentukan makna ke-islaman dan dalam mewujudkan ke-umat-an sebagai bentuk kolektifitas keimanan.

Jika dibawa ke dalam konteks praksis di Indonesia, maka sepakat atau tidak, sekarang ini bentuk nasionalisme kita yang masih terawat dengan baik tinggal bentuk artefaknya saja. Bendera masih merah-putih, orang-orang masih membutuhkan KTP dan paspor sebagai identitas kewarganegaraan dan nama pahlawan yang tetap terpampang di jalan-jalan protokol. Akan tetapi, nasionalisme sebagai kesadaran, sebagai solidaritas kebangsaan, dan sebagai kebanggaan terhadap bangsa rasanya semakin tidak jelas.

Kejadian busung lapar, gizi buruk, soal anak murid bunuh diri akibat tidak mampu membayar uang sekolahnya, kaitannya dengan soal penghematan yang diseruhkan secara moral sekarang ini, apakah mungkin seruan seperti itu berpengaruh kalau Negara juga kelihatan malu melakukan regulasi, kalau nasionalisme juga tidak lagi mengalirkan solidaritas sosial, kalau partai-partai kehilangan cita-cita politiknya, apalagi jika ternyata agama-agama telah berubah menjadi oggokan ormas, masihkah ada harapan keadilan yang populis?. (h. 188)

Pertanyaan ini mengingatkan kita betapa miskinnya konsep dan makna politik yang kita miliki. Benar bahwa kita mempunyai KTP, mempunyai nomor wajib pajak, mempunyai Negara, juga mempunyai kelembagaan formal politik yang disebut partai-partai. Namun, semua perangkat politik yang kita miliki itu, ternyata tidak mampu menyentuh masalah sosial bahwa realitas seperti busung lapar dan meninggalnya anak-anak yang diimunisasi polio itu seharusnya menjadi panggilan suci politik kita untuk mengatasinya.

Ironis memang, tatkala perjalanan bangsa ini terpuruk seperti sekarang ini, kita kehilangan patriotisme dengan makna baru, kita juga kehilangan makna demokrasi sosial yang baru, bahkan keimanan kita juga telah redup dalam birokrasi agama masing-masing, dan lupa akan adanya teologi sosial yang baru yang bisa menggugah solidaritas, yang merupakan nilai paling tinggi yang harus dijunjung bersama dalam bermasyarakat.

Disinilah kehadiran teologi baru menjadi tumpuan dan harapan untuk teratasinya kemelut sosial dan kemanusiaan. Sebuah rumusan syari’ah yang pro-kemanusiaan, yang mungkin bisa membangkitkan kembali kesadaran, bahwa kesengsaraan bukanlah merupakan gejalah ekonomi dan politik dimana korbannya harus memikul semua secara individual, tetapi sesunggunya merupakan tantangan kemanusiaan yang harus dijawab dengan tanggung jawab bersama-sama.

Dengan kerja teologis, setiap agama akan mampu mengeluarkan cita-cita sosilanya, tanpa harus menghilangkan keunikannya masing-masing dalam praktik ritual dan penghayatan spiritualnya. Akankah agama-agama mampu melakukan kerja sama membangun teologi sosial yang baru yang bisa menyuarakan secara politik bahwa “Suara Tuhan adalah suara orang miskin”atau” tangisnya orang lapar adalah tangis Tuhan”, sehingga sejarah kesengsaraan manusia bisa berubah. Mudah-mudahan saja semua ini dapat terwujud.

*Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang

KEMERDEKAAN TANPA BATAS

OLEH : ABDUL KHOLIQ*

KEMERDEKAAN adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan.
Goresan tinta yang termaktup dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu, dengan tegas dirumuskan para pendiri bangsa. Artinya bahwa, bentuk penindasan apapun, praktik intimidasi, tekanan oleh pihak lain pada bangsa kita, sesuatu keharusan dengan segera disingkirkan.

Baru saja bangsa kita berulang tahun ke 65. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah bangsa kita (bisa) dikatakan bangsa yang merdeka? Pertanyaan itu muncul tatkala bangsa kita, sejauh ini masih tergadaikan oleh pihak asing. Maraknya penguasaan asing atas aset ekonomi strategis, seperti sector pertambangan, telekomunikasi, air dan sektor lainnya. Suatu wujud dari ketidak berdayaan bangsa Indonesia.

Kendati demikian, bangsa kita secara defakto dikatakan bangsa merdeka dari kolonialisme. Dalam konteks sekarang, sepakat atau tidak anda, nasionalisme kita luntur bergeser menjadi nasionalisme dangkal. Kita bela merah putih hanya dalam hal-hal yang bersifat simbolik, kekayaan alam kita dikuras dan dijarah oleh korporasi asing, bahkan ketika kekuatan asing dapat mendikte perundang-undangan serta keputusan politik, kita diam membisu.

Beberapa waktu lalu kita dihebohkan petugas Perikanan dan Kelautan Indonesia, yang ditangkap Polisi Diraja Malaysia di tanah tumpah darah kita. Adalah tamparan wajah bagi bangsa Indonesia. Seolah kita sudah kehilangan harga dan martabat diri. Pedih rasanya melihat fenomena seperti itu. Kibaran sang saka merah putih, lagu kebangsaan yang menggetarkan hati, tidak memiliki makna tatkala ibu pertiwi dibiarkan merintih.

Bangsa yang merdeka tentunya, harus mentransformasikan diri sebagai bangsa yang bermartabat, bangsa yang berdaulat, disegani dan dihormati bangsa-bangsa lain. Dengan kata lain kemerdekaan tanpa batas, merdeka untuk menikmati dan mengelolah kekayaan bangsa secara mandiri.

Tanpa langka demikian, perasaan gundah akan membuncah dihati rakyat. Terlebih lagi kalau beberapa persoalan lain, kecilnya lowongan pekerjaan, biaya pendidikan mahal, biaya kesehatan semakin mencekik. Pendeknya, rakyat berharap mendapatkan kemerdekaan tanpa batas, merdeka dalam arti sesungguhnya.


*Pegiat Center for Religious and Social Studies (RëSIST) dan
Mahasiswa Matematika UIN Maliki Malang

SIAPA YANG (TIDAK) INGIN SEKOLAH?

OLEH: ABDUL KHOLIQ*

BISA dipastikan semua masyarakat yang memiliki pemikiran progresif dan berkemajuan, menikmati dan mengenyam pendidikan tinggi merupakan cita-cita dan keinginan yang tak terbantahkan. Pertanyaannya, apakah setiap elemen masyarakat bisa merasakan pahit, manisnya pendidikan?. Sudahkah Negara sesuai dengan rumusan pasal 31 Ayat (1) UUD 1945, bahwa “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”.

Dari isi “kitab” ini, kesempatan untuk belajar melalui lembaga baik formal maupun non formal merupakan hak rakyat dan kewajiban Negara untuk diwujudkan kepada setiap insan pertiwi. Namun, dalam merealisasikannya tidak gampang dan tidak mudah. Masyarakat harus bergelut dengan tingginya biaya pendidikan. Misalnya, untuk belajar di sekolah unggulan (RSBI) atau kuliah. Diakui atau tidak, ada dikotomi antara kaum borjuis (berduit) dengan kaum proletar (jelata).

Bagi yang tidak memiliki duit dengan sendirinya tergusur, terpinggirkan dan tersisihkan. Sebab, yang sanggup memikul biaya kuliah itu, hanya orang kuat (berduit). Mulai dari mahalnya biaya formulir, registrasi uang gedung dan lain-lain. Kekuatan dari mana wong cilik, boro-boro untuk makan saja Alhamdulillah.
Hal ini mengindikasi bahwa, seolah sekolah tinggi (hanya) milik orang kaya. Padahal, banyak rakyat miskin yang kualitasnya bagus. Terpaksa, mereka harus merelakan yakni mengurungkan niatnya untuk sekolah, alasannya karena keterbatasannya.

Melihat semua itu, hadirnya globalisasi jelas ditunggangi oleh semangat fundamentalisme pasar, pendidikan tidak lagi sepenuhnya sebagai kewajiban pemerintah dalam upaya mencerdaskan bangsa atau proses pemerdekaan manusia, tetapi mulai bergeser menuju komodikasi pendidikan. Peranan mencerdaskan untuk warga semakin dikurangi dan digantikan oleh pasar.

Tidak heran, output pendidikan nasional mulai dari tingkat dasar sampai tinggi tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi hanya menghasilakan lulusan scientia, yakni kurang membekali anak didiknya semangat kebangsaan, semangat keadilan social, sifat-sifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai warga Negara.
Jika tidak disikapi, bahaya ini mengancam pendidikan kira dan tidak dipungkiri nantinya sekolah (hanya) teruntuk orang berduit. Lantas bagaimana nasip orang kecil? Tidak sedikit anak “pinggiran” memiliki otak encer.

Sebagai catatan juga, RSBI tidak sebatas jargon, bangga akan sebuah nama, tetapi bentuk tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas SDM bangsa kita sekaligus sebagai tauladan sekolah lainnya. Karena, parameternya tidak lagi dalam negeri. Wujud yang ditampakkan adalah pemecahan masalah nasional dan iternasional. Aneh dan ironi nantinya, ketika berlabel nama RSBI malah memecahkan permasalahan regional saja tidak pecus. Apalagi kualitasnya sama saja dengan sekolah standart (biasa), perlu dipertanyakan kembali dong RSBInya.

Oleh karena itu, ketika ada sinyalemen bahwa, orang miskin dilarang sekolah (kuliah), merupakan sebuah kebenaran yang bisa dimafhumkan secara logis, tatkalah pemerintah tidak ada pemihakan pada rakyat kecil, dan secara otomatis memperkuat statmen itu. Semoga mata hati pemerintah dibuka oleh sang Khaliq, sehingga anggaran 20 % pendidikan benar-benar terwujud. Amin.


*Mahasiswa Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Devisi Lembaga Pers dan Litbang IMM Cabang Malang.

TEROR “DAPUR” KITA


OLEH: ABDUL KHOLIQ*

SAAT ini masyarakat diguncangkan dengan teror dapur, yakni maraknya ledakan elpiji di sejumlah tempat. Ternyata, hal serupa telah diikuti dengan banyaknya teror ledakan "dapur" bangsa kita. Di tengah suhu panas politik pemilihan kepada daerah, di Mojokerto misalnya, ditemukan berbagai ledakan "dapur" di sana. "Dapur" negeri ini sering bermasalah mulai dari praktik intimidasi, kekerasan, dan konflik horizontal-vertikal sering mengedepan. Permasalahan "rumah" kita rumit, mulai dari dapur politik, dapur ekonomi, dan dapur-dapur lainnya. Termasuk juga "dapur" (wajah) pejabat yang tidak memiliki budaya malu menggunakan uang rakyat untuk pribadi.

Dalam konteks sekarang, sejujurnya dapur kita terjadi berbagai gejolak. Mulai dari dapur wong cilik, sampai dapur pemerintah. Perbedaannya, hanya terletak pada kepulannya saja. Kalau dapurnya orang kecil sering tidak mengepul karena tidak ada yang dimasak, akibatnya kelaparan, tetapi, kalau dapurnya penguasa “mengepul” untuk kepentingan pribadinya.. Kesenjangan inilah yang harus segera diselaraskan, guna mewujudkan “dapur” bangsa kita menjadi seimbang. Kalau tidak, ketimpangan ini, bisa menjadi bomerang, sehingga kian menambah kotornya dapur kita.

Republic kita yang kotor oleh korupsi, kemiskinan, pengangguran dan bencana alam menjadi kian kotor. Lantas yang menjadi pertanyaan, siapa yang bertanggung jawab besar dalam permasalahan ‘dapur’ kita? apakah rakyat kecil yang harus menanggung semua ini ataukah para pemegang kendali kita. Menurut saya, lagi-lagi rakyat-lah sebagai objek kelinci percobaan para penguasa. Contoh ketika konversi minyak tanah menjadi gas elpiji, pada dasarnya belum sepenuhnya diikuti kesiapan masyarakat. Kenyataannya, masyarakat pedesaan yang sebelumnya menggunakan tungku atau kompor untuk memasak. Tiba-tiba seolah “dipaksa” memasuki gaya modern dengan menggunakan gas elpiji.

Selain itu, dengan ditariknya subsidi minyak tanah atau dibatasi peredaran minyak tanah, menyebabkan rakyat berjuang multi, kebijakan inilah yang harus membuat rakyat Lagipula konversi ini tidak diikuti dengan pengawasan secara jeli. Mengingat ledakan ini saling bersautan di penjuru daerah. Sebagai catatan, pemerintah atau pihak pertamina, harus bertanggung jawab, dan lebih peka serta melakukan pemantauan betul, dan melakukan evaluasi terhadap beruntunnya bencana ini. Jika, konversi gas ini, sebagai bentuk penghematan Negara.

Seharusnya Negara wajib melakukan surtir lebih terhadap kualitas, baik tabung, selang maupun regulatornya. Pemerintah harus tegas menindak para pelaku curang, karena ternyata masih banyak oknum yang berani menjual semua alat itu, dibawah garis standart pengamanan atau lebih para pengoplosan. Padahal akibatnya tidak lain akan membahayakan nyawa. Perlu diingat, luka mereka adalah luka kita semua. Semoga cukup disini luka, duka dapur kita. Amin.

*Mahasiswa Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang dan Aktifis IMM “Revivalis”.

Jumat, 07 Januari 2011

“TUNGGANGAN” (yang) MENINDAS

Oleh : ABDUL KHOLIQ*

MOBIL mewah Toyota Crown Royal Saloon, sudah dipastikan menjadi “tunggangan” (mobil dinas) pejabat Negara sekarang. Di tengah masyarakat yang masih terkungkung dalam “lumpur” krisis semacam ini, penentu kebijakan rasanya jauh dari keadilan rakyat.

Kalau penguasa memilki idealisme untuk memperjuangkan rakyat, saya yakin menjadi penguasa itu belum tentu enak hidupnya. Bagaimana bisa tenteram naik mobil mewah, jika melihat rakyat miskin tidak berkurang. Pekerja yang di-PHK makin banyak. Para pedagang kaki lima semakin tipis rezekinya ketika harus tergusur. Eksploitasi alam secara tak terkendali membuat rakyat miskin makin terpinggirkan. Bagaimana bisa naik Toyota Crown Royal Saloon sambil bersenandung, jika langka kebijakan ini tak disetujui rakyat sepenuhnya.

Namun, bagi penguasa yang tidak memiliki idealisme untuk memperjuangkan wong cilik, terpilihnya sebagai wakil rakyat atau penguasa. “Ini merupakan kesempatan untuk menikmati fasilitas Negara”. Kira-kira demikian gumam dalam hatinya. Mereka asyik bergincu, berparas cantik, sementara ada rakyat yang meringkuk kelaparan.

Padahal, suasana batin rakyat yang mulai kecewa adalah lahan subur bagi provokasi. Karena itu, jika tidak segera diatasi, rakyat bisa berubah menjadi air bah dan membobol tanggul kekuasaan. Pemicu utama adalah lapar, pengangguran serta hukum tidak adil.

Seorang pemimpin yang baik adalah yang menyadari bahwa kekuasaan yang dipegangnya adalah milik publik. Seperti, yang dicontohkan sosok Bung Hatta, ia tidak pernah mengambil keuntungan pribadi, baik sebagai wakil presiden/perdana menteri maupun saat pensiun, beliau tetap menjaga nama besar.

Seandainya Bung Hatta, mengetahui kebijakan yang tak berbanding lurus dengan kondisi rakyat, dipastikan ia berjalan tertunduk malu dan pastinya mengelus dada, miris dengan keputusan tersebut. Sebuah cerita, dikarenakan keinginan beliau dengan sepatu Balley, ia menyimpan guntingan iklan sepatu Balley dikoran dalam lipatan buku. Lama tidak kesampaian keinginannya sepatu itu, padahal pejabat Negara “sekelas” Hatta, siapa yang tidak ingin menghadiai beliau, kalau ia mau mengaku.

Betapa sederhananya Bung Hatta. Sepakat atau tidak, nama besar beliau saat ini nampaknya tinggal bentuk artefaknya saja, bahkan di jalan protokol masih terpampang namanya, akan tetapi, makna nilai kepribadiannya, kesederhanaanya, pemikirannya jauh di kontekstualisasikan oleh penguasa sekarang.

Kecintaan beliau kepada tanah air sunggu luar biasa, sehingga menimbulkan firasat-firasat, jauh kedepan meskipun ia bukan paranormal, firasat atau ramalan beliau mengatakan “Bila Indonesia sudah merdeka, rakyat tetap tertindas oleh yang berkuasa”. Kini, apakah ramalan Hatta menjadi kenyataan? Jawabannya terserah anda.

*Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

MODERNITAS, MORALITAS, DAN ANCAMAN MANUSIA

OLEH: ABDUL KHOLIQ*

DALAM diskusi kemahasiswaan bertajuk “Moralitas Sebagai Upaya Membangun Bangsa”, yang digagas oleh Komunitas Mahasiswa Pamekasan (KOMPAS) Malang, telah menempatkan bahwa pendidikan moral sebagai kunci utama dalam membangun peradaban suatu bangsa.

Kenapa harus pendidikan moral? Sebab, modernitas dibarengi dengan teknologi yang serba canggi, justru manusia sendiri telah terhipnotis, terbelenggu dan terjajah oleh hasil kreasinya. Teknologi tidak lagi berperan sebagai “alat hidup”, melainkan sebagai “tujuan hidup”. Tidak jarang manusia terseret dalam keampuhannya, sehingga tingka laku, tamak, serakah, zalim dan lainnya, banyak kita jumpai dalam kehidupan sekitar kita.

Selain itu, teknologi tidak berperan sesuai dengan arti dan fungsinya, akan tetapi lebih dijunjung sebagai gaya hidup, pengangkat harkat dan martabat. Contoh: mobil merk A lebih canggi merk B,
Dari sinilah ada sebuah pergeseran nilai. Diakui atau tidak, mentalitas kita sekarang menjadi mental “matrealistik”, layaknya “tuhan” yang harus disembah. Kecukupan sandang, pangan bukan lagi arah dari kebahagiaan hidup. Yang menjadi arah kehidupannya adalah menumpuk uang, harta kekayaan. Kebahagiaan berubah menjadi barang nyata berupa limpahan materi.

Dalam konteks praksis di Indonesia, tidak heran korupsi sulit dihentikan di tanah “surga” ini, karena para penguasa memberhalakan mental “matrealistik” sekaligus sebagai pemuja setia. Tidak kurang para pejabat kita honorariumnya tinggi, tunjangannya melimpah, namun tetap merasa tidak cukup, kurang apa itu?, kurang ajar kali yang pantas disandang mereka.

Itulah degradasi moral bangsa kita. Selain itu, efek samping yang ditimbulakan termasuk kerusakan lingkungan sebab moralitas kita yang bejat. Setiap individu membiarkan nafsu serakahnya menjadi liar, alam digaruk untuk memenuhi kenikmatan biologis-nya. Oleh sebab itu pendidikan moral sebuah keharusan untuk diterapkan dan dikejawantahkan dalam kehidupan kita. Kalau tidak, moralitas itu yang menjadi ancaman kehidupan manusia sendiri.

Terbukti, tidak sedikit manusia yang “gelap mata” memakan manusia lainnya, hak rakyat telah direnggut penguasa untuk memenuhi temboloknya sendiri. Sementara rakyat dibiarkan terlunta-lunta untuk mengurus moral. Padahal, rakyat tidak hanya butuh makan moral saja, rakyat butuh makan sembako murah, tabung gas elpiji aman, harga minyak bisa dijangkau dengan koceknya.

Sebagai pamungkas, agama jangan dijadikan dekorasi yang tersusun apik. Akan tetapi, ditransformatisikan dalam kehidupan. Sejujurnya, musuh nyata manusia tidak lain adalah manusia sendiri. Dengan kata lain, demi mewujudkan ketentraman, negeri gema ripah loh jinawe adalah memerangi kezaliman keserakahan, ketamakan, semua itu intinya adalah moral yang harus dibangun pertama demi mewujudkan good governance. Terima kasih

*Mahasiswa Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. dan Aktivis IMM Malang.

PENDIDIKAN PANCASILA UNTUK MAHASISWA

Oleh : ABDUL KHOLIQ

PENDIDIKAN berdasarkan pancasila bertujuan meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani.

Sebuah rumusan yang sangat agung, namun sejauh ini apakah rumusan tersebut telah diwujudkan pada setiap pribadi civitas akademika yang mengaku sebagai generasi agent of change, agent of control?

Nampaknya, rumusan diatas sulit terwujudkan, ketika wajah perguruan tinggi di Indonesia bagai remaja yang jerawatan. Tak sedap dipandang mata. Penyebabnya, merebaknya plagiarisme, ironisnya pelaku utama bukan pihak mahasiswa saja, akan tetapi dosen, guru besar, dan calon guru besar dengan beragam modus. Tidak hanya berhenti disini, bahkan yang lebih mencengangkan adalah tidak henti-hentinya mahasiswa yang melakukan aneka “kontestasi” kurang cerdas seperti tawuran, pengniayaan dan ragam kekerasan lainnya.

Sayang alih-alih mau mengubah Negeri kita dari ketertinggalan bangsa lain sebatas mimpi, ketika tidak sejalan dengan kenyataan yang ada, kita (mahasiswa) mengamini pendidikan berdasar pancasila tapi pada saat yang sama kita menghianati. Dalam kondisi bangsa yang sering dilanda konflik, yang secara ekonomi jauh dari maju dan secara ilmu pengetahuan sangat bergantung pada dunia luar, sulit bangsa kita diperhitungkan dalam percaturan internasional, nampaknya telah dirobek sendiri oleh calon pemimpin bangsa ini, dengan tindakan-tindakan tadi.

Bisikan hati ini miris, melihat adanya “kontestasi” yang kurang waras tersebut. Apakah demikian potret dunia kampus sekarang?, sering “main” batu untuk saling melukai, bahkan merusak tatanan fasilitas kampus yang tidak berdosa itu. Hal kurang ajar ini yang menjadi koreksi kita bersama. Jangan heran, ketika ada masyarakat berfikiran bahwa mahasiswa kok kayak preman, brutal. Kiranya timbul dari fenomena mahasiswa saat ini, seperti itu.

Sebenarnya dalam historis, kemunculan institusi pendidikan universitas diberbagai Negara yang selanjutnya berperan penting dalam proses pembangunan. Sebuah keharusan untuk kita ditampakkan, diwujudkan terutama dalam hal pemecahan masalah nasional bahkan internasional. Adalah isapan jempol belaka, tatkalah banyak civitas yang melakukan hal berkebalikan.

Oleh karenanya, mengembalikan elan vital kampus sebagai agent of change dan agent of control, lebih-lebih agent of moral tidak sebatas wacana, melainkan praksisnya (ortopraxcy) dengan menjadikan kampus sebagai tempat pendidikan karakter, tradisi ilmiah, maka tidak mustahil dalam terwujudnya kehidupan bangsa yang cerdas, mandiri mudah tergapai. Output yang dihasilkanpun tentunya manusia-manusia yang berkarakter, yaitu cerdas, religius, patriotic, humanis dan memiliki rasa keadilan social yang tinggi. Semoga mahasiswa mampu mengimplementasikan pendidikan berdasarkan pancasila. Sehingga tujuan pendidikan terwujud amin.

*Mahasiswa Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang

PETANI (jangan) DI PINGGIRKAN

OLEH : ABDUL KHOLIQ*

GAUNG Pemilukada di sejumlah daerah Jawa Timur terdengar menjauh dari “stasion” rakyat. Seandainya saya menjadi juru kampanye para calon Pemimpin Daerah itu, maka saya bisikkan ditelingahnya dan saya rumuskan dalam teks pidatonya agar dipekikkan “prioritas utama yang harus dibangun, dalam mewujudkan daerah berkemajuan adalah sektor pertanian dan sektor pendidikan”.

Alasannya, pertama, disamping pertanian merupakan sektor setrategis, pertanian sangat berkontribusi besar dalam pembangunan. Setiap tahun, 25 juta rumah tangga petani memproduksi pangan, meliputi padi, jagung kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar, yang nilainya Rp. 258,2 trilyun. Begitu besar ukuran nominalnya, akan tetapi kenyataannya, sampai detik ini tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan para petani, nasib petani tidak ada perubahan secara signifikan tetap saja nasibnya buram.

Kalau saja sektor ini digarap secara lebih serius, maka bangsa akan semakin sejahtera. Pembangunan pertanian yang lamban geraknya mungkin karena petaninya kurang mampu (pendidikan rendah) dalam segi pengelolaan. Namun, penyebab itu, tidak sepenuhnya dijadikan alasan berkepanjangan. Terlepas dari itu, para pemangku kebijakan seharusnya tegas dalam penentuan harga gabah, pupuk, dan insectisida.

Menurut saya, bisa dibilang selama ini jadi petani itu rugi. Mulai dari melangitnya harga pupuk, diikuti kelangkaannya pula. Itu tidak seberapa, tatkala waktu panen, harga pun tidak seimbang, malah harganya turun, jadi ada yang salah?. Selain itu, belum lagi tenaga pribadi petani itu tidak dikalkulasi sebagai cost biaya. Semuanya dijadikan sebuah kelumrahan, pokoknya bekerja (bertani) pergi pagi buta pulang sore, kira-kira begitu.

Sebagian besar masyarakat Jawa Timur mata pencahariannya adalah sektor pertanian. Bunga harapan perbaikan hidup para petani setidaknya akan menjadi kenyataan ketika sektor ini jadi sorotan (garapan) utama. Setidaknya, prioritas ini ranahnya lebih pada hal kongkrit, empiris yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat. Berbedah halnya dengan prioritas penegakan hukum, korupsi. Sebab, bukannya habis malah berkembang tak tentu arah, semakin runyam dan lain-lain. Pada akhirnya membuat rakyat bosan, jenuh, mangkel mendengarnya.

Alasan Kedua, untuk mewujudkan pertanian yang lebih progresif tidak lain adalah sector ‘pendidikan untuk petani’ yang dibangun. Lantas, bagimana untuk mewujudkan petani handal, ketika teknologi yang dipakai sudah aus. Penyuluhan terhadap petani desa pun tersendat, kredit juga seret. Wajar saja terjadi kelambanan dalam bidang pertanian. Sebab, SDM-nya rendah.

Lain halnya dengan Thailand sector pertaniannya maju, karena SDM-nya unggul. Bahkan lebih ironis, kita saja lebih suka buah yang berbau Negara lain, misalnya, Jambu bangkok, papaya, durian dan lain-lain. Kendati demikian pemerintah Jawa Timur Pakde Karwo, kedua sector ini jangan dipinggirkan. Terima kasih.

*Mahasiswa Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang dan Aktifis IMM Malang.

MEMANUSIAKAN BURUH MIGRAN !

OLEH:ABDUL KHOLIQ*

KITA bangga memiliki KTP, mempunyai nomor wajib pajak, kita masih menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Namun, melihat penganiayaan yang dialami Sumiyati, buruh migran asal Dompu, Nusa Tenggara Barat oleh majikannya di Arab Saudi. Menimbulkan pertanyaan, apakah dia (buruh migran) masih menjadi bagian dari manusia Indonesia?.

Mengingat bahwa, pemimpin bangsa sering “lupa” dalam menuntaskan permasalahan para buruh migran. Lihat saja deretan nama Siti Hajar, Siti Tarwiyah, Susmiyati, Sariah, Winfaida, dan puluhan nama lain yang pernah dijanjikan penyelesaian kasusnya, tetapi sejauh ini terlihat nihil, dan entah kemana menguapnya kasus itu?. Tidak hentinya kita dihadapkan “sajian” tindakan tidak manusiawi yang dialami manusia Indonesia di negeri sebrang.

Hati ini sangat teriris, terluka, melihat “pahlawan devisa” disiksa, disetrika, bahkan, digunting bibirnya, martabat sebagai manusia di lecehkan oleh majikan (bangsa lain). Sementara derasnya kucuran remitansi (kiriman uang dari jerih payah bekerja di luar negeri) selalu melumuri “mesin pelumas” perekonomian kita.

Kegagalan negara dalam memberikan perlindungan pada rakyatnya, nampaknya tidak membuat para pemangku kebijakan merasa bersalah. Seolah mata, telinga, hati, penguasa tertutup “debu” remistansi itu.
Sesunggunya “kenekatan” TKI pergi merantau (tanpa dibekali ketrampilan), tidak lain karena minimnya lapangan pekerjaan di daerah. Sektor pertanian semula sebagai mata pencariannya tidak menjanjikan untuk perbaikan nasibnya. Tak ayal kejadian ini, penting dijadikan perhatian oleh pemerintah Jawa Timur, mengingat rakyatnya banyak “memburu” rejeki di luar sana.

Oleh sebab itu, membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya didesa, pemberdayaan kopersi desa kiranya penting dilakukan. Atau perlu penataan ulang strategi, jika (masih) mengekspor buruh, yakni memperbaharui tata cara perekrutan TKI, memperketat izin operasi PJTKI, pembekalan pendidikan keterampilan soft skill pada TKI, serta penguasaan bahasa asing yang mumpuni.

Memanusiakan buruh migrant harga mati dilakukan pemerintah kita, memberikan advokasi pendampingan pada buruh. Penentuan hari libur sekaligus penentuan upah tidak luput dari pantauan pemerintah. Mendengar pemerintah akan pemberian HP kepada setiap TKI, kiranya langka bagus, kendati demikian bukanlah hal subtantif, melainkan hanya tool. Terima kasih.

*Anak seorang TKI dan kini Mahasiswa Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

GAYUS DAN “BENCANA” HUKUM KITA

OLEH:ABDUL KHOLIQ*

KASUS mafia pajak dan hukum menggelinding ke permukaan, setelah Mantan Kabareskrim Komjen Susno Duaji membuka kotak Pandora. “Dunia hitam” yang dimainkan oleh Gayus HP Tambunan sekaligus menyeret sejumlah petinggi polisi, mengiris hati rakyat.

Hingga bisikan hati ini muncul, apa sih yang tidak bisa di korupsi (dimanipulasi) pada bangsa kita?.
Terkuaknya aksi “jalan-jalan” gayus ke Bali, merupakan tamparan hukum kita. Ditengah pemerintahan Yudoyono dengan getol untuk penegakan hukum, sekaligus sebagai prioritas utama program kerja dalam roda kepemimpinannya. Nampaknya, telah di cederai berbagai “bencana” hukum kita.

Tersangkutnya sejumlah pemangku kebijakan; Menteri, Gubenur, Bupati oleh KPK baik aktif atau non aktif (mantan), misalnya, serta dugaan suap kolektif melibatkan Institusi Kejaksaan, Pengadilan, dan Kepolisian. Sungguh menjadi problem serius bagi bangsa ini, karena yang melakukan korupsi (pelemahan hukum) justru pemangku penegak hukum sendiri. Dan orang yang korupsi itu, bukan pegawai rendahan melainkan pejabat tinggi negara. Aksi “jalan-jalan” Gayus tersebut, menjadi pelengkap sudah dari rangkaian bukti lemahnya integritas aparatur penegak hukum. Indikasi ini, membuat rakyat menjustifikasi hukum bisa dibeli dipermainkan kekuatan uang.

Publik pesimistis sistem penegakan hukum dapat berjalan di tengah situasi di mana kepentingan politik dan kekuatan kapital lebih berpengaruh dan berkuasa dalam proses hukum di negara ini. Publik menilai praktik korupsi yang berlangsung sejauh ini sudah demikian akut. Penilaian semacam ini menggiring sikap publik yang seolah frustrasi terhadap penyelenggaraan hukum di negeri ini. Praktik korupsi yang tampak berpilin di hampir semua institusi pemerintahan menunjukkan kecenderungan rendahnya integritas pejabat dan pegawai Negara. (Kompas, 22-11-‘10)

Memandang fenomena itu, tidak salah ketika teman saya berpretensi “apa sih yang tidak bisa di Indonesia, semua pasti bisa”. Lihat saja, Lembaga Pemasyarakatan (LP) (bisa) menjadi “istana”, ruangan ber-AC, dokter specialis pun bisa dipanggil, sementara lainnya harus berbagi tempat karena tidak sebanding jumlah napi. Belum lama ini, program acara barometer di televisi swasta menyorot dibalik tirai besi, ternyata (bisa) menjadi tempat bisnis esek-esek.

Jangankan aksi keluar masuk tahanan, itu cuman masalah sepeleh, apalagi ditopang dengan alasan sakit (karena encoknya kumat). terdakwa juga manusia dong, berhak berobat (bahkan berobat keluar negeri pun diberi izin). Sementara publik tidak tahu, ada apa dibalik konspirasi itu?. “Apa sih yang susah, Indonesia Bisa” celetuk dia. Terlepas dari sitiran atau apa? statemen teman saya itu, namun kenyataannya begitu.

Kalau dibandingkan dengan kasus Mbok Minah (55) beberapa waktu lalu, sangat berbanding terbalik, dia harus menjalani pemeriksaan dari pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto. Minah dituduh mencuri buah kakao atau buah coklat sebanyak 3 biji dari tempatnya ia bekerja di PT Rumpun Sari Antan 4 di Desa Darma Kradenan tak jauh dari rumahnya. Buah itu akan dijadikan benih, walaupun belum sempat dibawah pulang olehnya. Mbok Minah harus mendekam di penjara selama 3 bulan. aspek social nampaknya sama sekali tidak disentuh dalam perkara Mbok Mina. Siapa Mbok Minah? Apa pekerjaannya? Tidak dicium dari prespektif nilai hukum. Hanya memandang perkara itu sebagai bentuk criminal yang dilakukan Minah, padahal belum tentu seperti itu.

Kasus Mbok Minah ini segelintir contoh kasus yang terjadi, dan tidak menutup kemungkinan masih banyak lagi kasus yang serupa.
Di dalam butir Pancasila, sila ke 4 dikatakan “Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dimana letak keadilan itu?. Para koruptor dengan jelas telah menggaruk uang rakyat milyaran rupiah, mulus tanpa sentuhan hukum, bahkan melenggang bebas. Sementara mengambil semangka seharga 2000 perak karena haus dan lapar, harus dipenjarakan. Manisnya keadilan rasanya jauh dari rakyat kecil. Seolah keadilan hanya berpihak dan dekat pada yang memiliki uang.

“Gempa” hukum inilah, yang harus segera dibenahi pemerintah kita. kalau tidak akan merontokkan seluruh sendi kehidupan bangsa. Negara akan hancur, tatkala hukum tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. Oleh sebab itu, sebuah keharusan menegakkan hukum, karena hukum menyangkut nilai–nilai kemanusiaan. Menegakkan nilai kemanusiaan (HAM), merupakan konstitusi kehidupan manusia karena tanpa HAM manusia kehilangan keotentikannya sebagai manusia bermartabat.

Di sinilah negara harus memberikan perlindungan dan menjamin bagi semua rakyat, bahwa di depan hukum mendapatkan perlakuan sama tanpa pandang bulu. Hukum dan kebijakan kekuasaan negara seyogyanya dan keharusan dapat mentranformasikan nilai HAM kearah kehidupan Negara yang berspirit kerakyatan dan perlindungan hak-hak warga negara yang otentik. Semoga “bencana” ini cepat berakhir. Amin.

*Mahasiswa Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

“ERUPSI” RAKYAT INDONESIA

OLEH: ABDUL KHOLIQ*

GEJOLAK magma di perut bumi (gunung) merupakan “gerakan dinamis” alam yang tidak bisa dicegah keberadaanya. Gunung (yang) sebagai paku bumi dan titik keseimbangan, dengan kesendiriannya berjalan sesuai dengan hukum alam. Begitu juga dengan bergolaknya “magma” di hati rakyat, akan membuncah ketika melihat para penguasa berbuat semena-mena (di luar etika) terhadap rakyat.

Merapi memuntahkan lahar bentuk dari stimuli alam (kodrat), sebagai gunung teraktif di jawa dapat dimafhumkan akan meletus sewaktu-waktu. Namun, erupsi magma ke permukaan ada yang mengartikan sebagai bentuk amarah Tuhan atau alam terhadap kita (manusia). Bencana silih berganti melanda bangsa kita; banjir wasior, tsunami mentawai, gunung meletus, seolah alam tidak mau lagi bersahabat dengan bumi pertiwi.

Tidak salah berpretensi seperti itu, kenyataanya sekarang ini pagar logika yang diperankan manusia menyelewengkan dari tugas dan kewajibannya. Yang seharusnya menjaga dan melestarikan alam (kebun kosmos), pagar itu lebih berperan sebagai pemakan tanaman kebun demi kebutuhan temporer. Tipis akan melestarikan dan menjaga alam, akan tetapi alam sendiri dipaksa untuk cepat “berbuah” demi pagar-pagar tertentu (orang-orang tertentu). Tibalah saatnya ketika alam hancur, maka hancur pula kehidupan manusia itu.

Dalam sambutannya, penyangkalan Presiden SBY akan bencana ekologis terjadi di wasior misalnya, menurut saya, merupakan sebuah kemustahilan terjadi, tatkala alam tidak di garuk secara berlebihan. Bagaimana tidak terjadi banjir bandang, tatkala daerah resapan air, telah hilang, ditebang oleh tangan tidak bertanggungjawab, guna membuncitkan perutnya sendiri.

Melihat bencana alam sejauh ini, Pemerintah kita, terkesan hanya bersikap respon, dalam artian baru melakukan pelayanan saat bencana telah menimpa. Menangis tersedak, terharu melihat rakyatnya dalam tenda pengungsian, jangan dijadikan jurus ampuh untuk meluluhkan hati rakyat, namun tindakan kongkrit bersifat preventif kedepannya harus lebih jelas. Seperti itu, rasanya jauh lebih peduli pada rakyat, sekaligus dapat menyelamatkan kehidupan mereka. Sukses Jepang dalam hal preventif tsunami, layak dijadikan cermin bagi pemerintah kita. Lebih-lebih bangsa kita berada pada lempengan patahan bumi, yang berpotensi gempa dan tsunami.

Kendati demikian, dalam kondisi bangsa yang memperihatinkan ini, miris sekali melihat para wakil rakyat hanya tanggap pada studi banding, belajar etika ke Yunani, apalagi akan membangun gedung super mewah. Tindakan ini, dapat memicu “erupsi” rakyat. “Magma” dalam hati ini mulai menggumpal, bergejolak, melihat para penyambung lidah rakyat bertindak di luar etika, maka tidak mustahil sewaktu-waktu akan memuntahkan “lahar” dan membuncah ke permukaan lebih dasyat.

Tentunya, para anggota dewan harus tahu diri. Tidak tepat guna menghabiskan uang rakyat, untuk belajar etika ke luar negeri. Cukup belajar etika dari para penderita korban bencana itu. Kembalikan pada hati nurani pribadi masing-masing, posisikan diri sebagai korbannya, disitulah menemukan etika sebenarnya. Bagaimana rasa kepekaan, sikap empati akan ditemukan melalui terjun langsung sebagai “penggendong” rakyat. Jangan mengundang ‘erupsi” rakyat Indonesia.

*Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang