OLEH:ABDUL KHOLIQ*
KASUS mafia pajak dan hukum menggelinding ke permukaan, setelah Mantan Kabareskrim Komjen Susno Duaji membuka kotak Pandora. “Dunia hitam” yang dimainkan oleh Gayus HP Tambunan sekaligus menyeret sejumlah petinggi polisi, mengiris hati rakyat.
Hingga bisikan hati ini muncul, apa sih yang tidak bisa di korupsi (dimanipulasi) pada bangsa kita?.
Terkuaknya aksi “jalan-jalan” gayus ke Bali, merupakan tamparan hukum kita. Ditengah pemerintahan Yudoyono dengan getol untuk penegakan hukum, sekaligus sebagai prioritas utama program kerja dalam roda kepemimpinannya. Nampaknya, telah di cederai berbagai “bencana” hukum kita.
Tersangkutnya sejumlah pemangku kebijakan; Menteri, Gubenur, Bupati oleh KPK baik aktif atau non aktif (mantan), misalnya, serta dugaan suap kolektif melibatkan Institusi Kejaksaan, Pengadilan, dan Kepolisian. Sungguh menjadi problem serius bagi bangsa ini, karena yang melakukan korupsi (pelemahan hukum) justru pemangku penegak hukum sendiri. Dan orang yang korupsi itu, bukan pegawai rendahan melainkan pejabat tinggi negara. Aksi “jalan-jalan” Gayus tersebut, menjadi pelengkap sudah dari rangkaian bukti lemahnya integritas aparatur penegak hukum. Indikasi ini, membuat rakyat menjustifikasi hukum bisa dibeli dipermainkan kekuatan uang.
Publik pesimistis sistem penegakan hukum dapat berjalan di tengah situasi di mana kepentingan politik dan kekuatan kapital lebih berpengaruh dan berkuasa dalam proses hukum di negara ini. Publik menilai praktik korupsi yang berlangsung sejauh ini sudah demikian akut. Penilaian semacam ini menggiring sikap publik yang seolah frustrasi terhadap penyelenggaraan hukum di negeri ini. Praktik korupsi yang tampak berpilin di hampir semua institusi pemerintahan menunjukkan kecenderungan rendahnya integritas pejabat dan pegawai Negara. (Kompas, 22-11-‘10)
Memandang fenomena itu, tidak salah ketika teman saya berpretensi “apa sih yang tidak bisa di Indonesia, semua pasti bisa”. Lihat saja, Lembaga Pemasyarakatan (LP) (bisa) menjadi “istana”, ruangan ber-AC, dokter specialis pun bisa dipanggil, sementara lainnya harus berbagi tempat karena tidak sebanding jumlah napi. Belum lama ini, program acara barometer di televisi swasta menyorot dibalik tirai besi, ternyata (bisa) menjadi tempat bisnis esek-esek.
Jangankan aksi keluar masuk tahanan, itu cuman masalah sepeleh, apalagi ditopang dengan alasan sakit (karena encoknya kumat). terdakwa juga manusia dong, berhak berobat (bahkan berobat keluar negeri pun diberi izin). Sementara publik tidak tahu, ada apa dibalik konspirasi itu?. “Apa sih yang susah, Indonesia Bisa” celetuk dia. Terlepas dari sitiran atau apa? statemen teman saya itu, namun kenyataannya begitu.
Kalau dibandingkan dengan kasus Mbok Minah (55) beberapa waktu lalu, sangat berbanding terbalik, dia harus menjalani pemeriksaan dari pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto. Minah dituduh mencuri buah kakao atau buah coklat sebanyak 3 biji dari tempatnya ia bekerja di PT Rumpun Sari Antan 4 di Desa Darma Kradenan tak jauh dari rumahnya. Buah itu akan dijadikan benih, walaupun belum sempat dibawah pulang olehnya. Mbok Minah harus mendekam di penjara selama 3 bulan. aspek social nampaknya sama sekali tidak disentuh dalam perkara Mbok Mina. Siapa Mbok Minah? Apa pekerjaannya? Tidak dicium dari prespektif nilai hukum. Hanya memandang perkara itu sebagai bentuk criminal yang dilakukan Minah, padahal belum tentu seperti itu.
Kasus Mbok Minah ini segelintir contoh kasus yang terjadi, dan tidak menutup kemungkinan masih banyak lagi kasus yang serupa.
Di dalam butir Pancasila, sila ke 4 dikatakan “Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dimana letak keadilan itu?. Para koruptor dengan jelas telah menggaruk uang rakyat milyaran rupiah, mulus tanpa sentuhan hukum, bahkan melenggang bebas. Sementara mengambil semangka seharga 2000 perak karena haus dan lapar, harus dipenjarakan. Manisnya keadilan rasanya jauh dari rakyat kecil. Seolah keadilan hanya berpihak dan dekat pada yang memiliki uang.
“Gempa” hukum inilah, yang harus segera dibenahi pemerintah kita. kalau tidak akan merontokkan seluruh sendi kehidupan bangsa. Negara akan hancur, tatkala hukum tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. Oleh sebab itu, sebuah keharusan menegakkan hukum, karena hukum menyangkut nilai–nilai kemanusiaan. Menegakkan nilai kemanusiaan (HAM), merupakan konstitusi kehidupan manusia karena tanpa HAM manusia kehilangan keotentikannya sebagai manusia bermartabat.
Di sinilah negara harus memberikan perlindungan dan menjamin bagi semua rakyat, bahwa di depan hukum mendapatkan perlakuan sama tanpa pandang bulu. Hukum dan kebijakan kekuasaan negara seyogyanya dan keharusan dapat mentranformasikan nilai HAM kearah kehidupan Negara yang berspirit kerakyatan dan perlindungan hak-hak warga negara yang otentik. Semoga “bencana” ini cepat berakhir. Amin.
*Mahasiswa Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar