OLEH:ABDUL KHOLIQ*
KITA bangga memiliki KTP, mempunyai nomor wajib pajak, kita masih menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Namun, melihat penganiayaan yang dialami Sumiyati, buruh migran asal Dompu, Nusa Tenggara Barat oleh majikannya di Arab Saudi. Menimbulkan pertanyaan, apakah dia (buruh migran) masih menjadi bagian dari manusia Indonesia?.
Mengingat bahwa, pemimpin bangsa sering “lupa” dalam menuntaskan permasalahan para buruh migran. Lihat saja deretan nama Siti Hajar, Siti Tarwiyah, Susmiyati, Sariah, Winfaida, dan puluhan nama lain yang pernah dijanjikan penyelesaian kasusnya, tetapi sejauh ini terlihat nihil, dan entah kemana menguapnya kasus itu?. Tidak hentinya kita dihadapkan “sajian” tindakan tidak manusiawi yang dialami manusia Indonesia di negeri sebrang.
Hati ini sangat teriris, terluka, melihat “pahlawan devisa” disiksa, disetrika, bahkan, digunting bibirnya, martabat sebagai manusia di lecehkan oleh majikan (bangsa lain). Sementara derasnya kucuran remitansi (kiriman uang dari jerih payah bekerja di luar negeri) selalu melumuri “mesin pelumas” perekonomian kita.
Kegagalan negara dalam memberikan perlindungan pada rakyatnya, nampaknya tidak membuat para pemangku kebijakan merasa bersalah. Seolah mata, telinga, hati, penguasa tertutup “debu” remistansi itu.
Sesunggunya “kenekatan” TKI pergi merantau (tanpa dibekali ketrampilan), tidak lain karena minimnya lapangan pekerjaan di daerah. Sektor pertanian semula sebagai mata pencariannya tidak menjanjikan untuk perbaikan nasibnya. Tak ayal kejadian ini, penting dijadikan perhatian oleh pemerintah Jawa Timur, mengingat rakyatnya banyak “memburu” rejeki di luar sana.
Oleh sebab itu, membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya didesa, pemberdayaan kopersi desa kiranya penting dilakukan. Atau perlu penataan ulang strategi, jika (masih) mengekspor buruh, yakni memperbaharui tata cara perekrutan TKI, memperketat izin operasi PJTKI, pembekalan pendidikan keterampilan soft skill pada TKI, serta penguasaan bahasa asing yang mumpuni.
Memanusiakan buruh migrant harga mati dilakukan pemerintah kita, memberikan advokasi pendampingan pada buruh. Penentuan hari libur sekaligus penentuan upah tidak luput dari pantauan pemerintah. Mendengar pemerintah akan pemberian HP kepada setiap TKI, kiranya langka bagus, kendati demikian bukanlah hal subtantif, melainkan hanya tool. Terima kasih.
*Anak seorang TKI dan kini Mahasiswa Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar