OLEH : ABDUL KHOLIQ*
EUFORIA sepak bola menyeruak diranah publik. Minggu-minggu kemarin, kita dihadapkan pada dua puluh dua lelaki saling berjuang (berebut) bola, demi mengharumkan negerinya. Melajunya Timnas ke final piala AFF dengan nilai sempurna, patut kita apresiasi tinggi. Walaupun, pada akhir perjalanan timnas menuju tangga juara terhenti oleh Malaysia.
Turnamen AFF benar-benar telah menyita perhatian jutaan rakyat Indonesia. Harapan masyarakat yang begitu besar, untuk bisa membawa pulang piala ke pangkuan pertiwi sunggu di nantikan. Dalam posisi bangsa (yang) mulai terkikis dari “percaturan” asia tenggara/dunia, melalui media (baca: sepak bola) ingin mengembalikan identitas diri, sebagai bangsa diperhitungkan.
Di tengah bangsa tertatih, kemiskinan cenderung bertambah. PHK pekerja akibat krisis yang dialami perusahannya, penggusuran PKL yang mayoritas menjadi tempat orang miskin untuk mengais rezkinya, eksploitasi alam besar-besar oleh perusahaan yang mengakibatkan rakyat miskin makin terpinggirkan. Kira-kira prestasi timnas, sebagai pelipur lara. Tak pelak, sporter mencari “obat” rela mengantri tiket, berdesakan demi menyaksikan tim Garuda. Semua canel televisi tertuju pada timnas. Benar-benar bangsa haus akan kebanggaan.
Pekikan “saatnya Indonesia juara”, pudar setelah tak mampu mengejar defisit gol dari Malaysia. Walaupun pada penysisihan Garuda Indonesia mampu menggebuk Macan Malaysia 5-1. Pertanyaanya siapa yang patut dipersalahkan dalam kegagalan timnas?
Diakui atau tidak, budaya instan telah merasuk dalam rana sepak bola kita. PSSI lebih memilih naturalisasi sebagai jalan pintas, untuk melakukan perubahan. Memang tidak salah dengan naturalisasi. Ironisnya, bangsa besar ini, ternyata kesulitan mencari sebelas pemain sepak bola. Berbeda halnya dengan Malaysia, lebih memilih mempersiapkan putra pribumi sejak dini. Tatkala pragmatisme berkubang di segala lini kehidupan, sekaligus merambah pada ranah sepak bola. Maka, tidak lain olah raga (sepak bola) mengalami pergeseran nilai menjadi primitivisme.
Dalam konteks sejarah, awalnya olahraga tidak seperti yang kita lihat seperti saat ini. Tetapi jauh lebih ‘primitif”. Bidang ini hakikatnya merupakan modal dasar untuk peperangan. Dengan olahraga, ketahanan fisik terjaga dan kekuatan bertambah.
Dua hal yang sangat diperlukan ketika bangsa-bangsa terlibat dalam peperangan. Adalah bangsa Sparta yang kemudian melakukan revolusi besar-besaran terhadap makna olahraga. Lempar lembing tidak lagi menjadikan manusia sebagai sasaran. Demikian juga dengan halnya panahan. Mereka sudah memodifikasi olahraga ini dengan mengganti sasaran. Singkatnya, bangsa Sparta memperkenalkan “olahraga” samber nyawa menjadi ajang mengukir prestasi dan keunggulan, jauh lebih beradab, naluri manusia menjadi unggul dan saling mengalahkan tetap tersalur.
Dalam perkembangannya, olahraga tidak lagi semata-mata didorong keinginan untuk mengalahkan. Jiwa olahraga mulai dirasuki pertarungan sebagai kepentingan. Tidak mengedepankan kesehatan jiwa dan raga. Melainkan dilirik sebagai peluang meraih keuntungan materi. Olahraga menjadi industri bercampur ambisi, gengsi dan prestasi. Kepentingan ekonomi, politik, social dan lainnya mulai menjadi determinan yang begitu dominan.
Olahraga kembali menjadi “primitif”. Semangat “mengenyahkan” tanpa disadari kembali menyeruak. Kredo “membunuh” lebih mengemuka. Apapun dilakukan dan segala cara menjadi sah-sah saja, demi mengejar ambisi. Maka intrik, tipu muslihat, menjadi strategi. Sepak bola misalnya, (yang) selama ini, (maaf) identik dengan olahraga “keras”. dalam bermain, tidak lagi sekadar menendang bola, pantat, dada dan kaki lawan diseruduk, ditendang diberlakukan seperti bola.
Maka kemudian, siasat sinar laser, menebarkan bubuk gatal, tidak lain adalah kredo membunuh demi mengejar ambisi gengsi, dan prestasi. Namun, apakah benar bahwa siasat tersebut adalah paling mendasar, menyebabkan kekalahan timnas kita? Sepanjang permainan di GBK, laju permainan kita tak terhentikan oleh tim manapun. Tatkala, saat tandang ke luar (away), para pemain kita seolah kehilangan kendali. Dari disini, identifikasi kelemahan harus segera dibenai?
Setelah AFF ini, semestinya sebagai titik balik bagaimana olahraga (baca: sepak bola) kembali kepada fitranya yakni mengedepankan nilai kesehatan jiwa dan raga itu sendiri. Pengamat sepak bola menyebut sukses ini, memilki arti penting, bagi sepak bola nasional. Atau merambah dalam kehidupan bangsa lebih luas.
Hal yang patut dijadikan point of view dari tim Garuda kita. Pertama, semangat nasionalisme; perjuangan pemain garuda di lapangan, mentransformasikan rasa cinta kepada tanah air kian membumbung tinggi dan berlipat.
Adakah yang salah bila kita memuja, mengidentifikasikan diri kita dengan tim merah putih, ketika bertarung di gelanggang olahraga regional atau internasional? Sama sekali tidak ada yang salah. Memang seharusnya demikian. Akan tetapi, nilai nasionalisme sepakbola kita akan menjadi nasionalisme dangkal dan hanya bersifat simbolik, tatkala hanya bersifat kasat mata, atau pupus sudah sampai disini.
Ibarat sebuah rumah, sepak bola bagaikan pajangan window show yang lansung bisa dilihat oleh setiap orang. Beranjak dari situ, diharapkan nasionalisme ini merasuk ke perabot “dapur” (republik) ini; ada ikatan erat dengan nasionalisme ekonomi, nasionalisme politik, nasionalisme pertahanan keamanan, nasionalisme pendidikan dan nasionalisme kehidupan lainnya. Oleh karenanya, spirit inilah yang harus dijadikan momentum kebangkitkan kita bersama menuju kejayaan.
Kedua, adalah nilai kedisiplinan peran arsitek strategi (pelatih), keberhasilan tim garuda, tidak lepas dari Alferd Riedl. Pelatih 61 tahun ini, mampu “meramu” pemain muda dan pemain veteran, selain itu adalah sikap ketegasan beliau. Siapapun (pemain) yang bermain tidak sungguh demi bangsa dan negara, maka tidak segan mencoret dari tim kesebelasan. Boaz Salosa bukti nyata ketegasannya, walaupun pemain Persipura ini memiliki raport bagus. Bagi Riedl, tidak ada gunanya tatkala pemain hanya setengah hati membela bangsanya.
Ketika, dua energi ini. Tidak (di)lanjutkan pemimpin dalam “meramu” bangsa. Jangan berharap bangsa kita akan cemerlang seperti timnas Indonesia sekarang ini. Sepatutnya, jiwa nasionalisme dan ketegasan mengalir deras dalam aliran darah serta tarikan nafas para pemimpin bangsa kita. Terlalu banyak masalah bangsa yang harus diselesaikan sekarang ini.
Akhir kata, tanpa tendeng aling-aling pemimpin harus tegas menindak pejabat yang berani masuk zona kritis (korupsi), menindak koruptor tanpa pandang buluh, demi tegaknya konstitusi negara. Tanpa dua energy berkekuatan “bom neutron” tersebut, rasanya sulit bagi pemimpin bangsa untuk mengurangi penderitaan hidup rakyat. Kiranya, rakyat kian lebih cinta pada tanah air, manakalah melihat “perabot” dapur (republik) ini indah, bebas dari korupsi, kemiskinan berkurang, tertanganinya pengangguran, serta tegaknya hukum. Dalam nada satir, saya teringat bersama kita bisa. Kita lihat saja, perubahan apa selepas pagelaran piala AFF ini?
*Penikmat sepak bola dan Peneliti Center for Religious and Social Studies (RĂ«SIST),
Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar