Pengunjung Blog

Jumat, 07 Januari 2011

“ERUPSI” RAKYAT INDONESIA

OLEH: ABDUL KHOLIQ*

GEJOLAK magma di perut bumi (gunung) merupakan “gerakan dinamis” alam yang tidak bisa dicegah keberadaanya. Gunung (yang) sebagai paku bumi dan titik keseimbangan, dengan kesendiriannya berjalan sesuai dengan hukum alam. Begitu juga dengan bergolaknya “magma” di hati rakyat, akan membuncah ketika melihat para penguasa berbuat semena-mena (di luar etika) terhadap rakyat.

Merapi memuntahkan lahar bentuk dari stimuli alam (kodrat), sebagai gunung teraktif di jawa dapat dimafhumkan akan meletus sewaktu-waktu. Namun, erupsi magma ke permukaan ada yang mengartikan sebagai bentuk amarah Tuhan atau alam terhadap kita (manusia). Bencana silih berganti melanda bangsa kita; banjir wasior, tsunami mentawai, gunung meletus, seolah alam tidak mau lagi bersahabat dengan bumi pertiwi.

Tidak salah berpretensi seperti itu, kenyataanya sekarang ini pagar logika yang diperankan manusia menyelewengkan dari tugas dan kewajibannya. Yang seharusnya menjaga dan melestarikan alam (kebun kosmos), pagar itu lebih berperan sebagai pemakan tanaman kebun demi kebutuhan temporer. Tipis akan melestarikan dan menjaga alam, akan tetapi alam sendiri dipaksa untuk cepat “berbuah” demi pagar-pagar tertentu (orang-orang tertentu). Tibalah saatnya ketika alam hancur, maka hancur pula kehidupan manusia itu.

Dalam sambutannya, penyangkalan Presiden SBY akan bencana ekologis terjadi di wasior misalnya, menurut saya, merupakan sebuah kemustahilan terjadi, tatkala alam tidak di garuk secara berlebihan. Bagaimana tidak terjadi banjir bandang, tatkala daerah resapan air, telah hilang, ditebang oleh tangan tidak bertanggungjawab, guna membuncitkan perutnya sendiri.

Melihat bencana alam sejauh ini, Pemerintah kita, terkesan hanya bersikap respon, dalam artian baru melakukan pelayanan saat bencana telah menimpa. Menangis tersedak, terharu melihat rakyatnya dalam tenda pengungsian, jangan dijadikan jurus ampuh untuk meluluhkan hati rakyat, namun tindakan kongkrit bersifat preventif kedepannya harus lebih jelas. Seperti itu, rasanya jauh lebih peduli pada rakyat, sekaligus dapat menyelamatkan kehidupan mereka. Sukses Jepang dalam hal preventif tsunami, layak dijadikan cermin bagi pemerintah kita. Lebih-lebih bangsa kita berada pada lempengan patahan bumi, yang berpotensi gempa dan tsunami.

Kendati demikian, dalam kondisi bangsa yang memperihatinkan ini, miris sekali melihat para wakil rakyat hanya tanggap pada studi banding, belajar etika ke Yunani, apalagi akan membangun gedung super mewah. Tindakan ini, dapat memicu “erupsi” rakyat. “Magma” dalam hati ini mulai menggumpal, bergejolak, melihat para penyambung lidah rakyat bertindak di luar etika, maka tidak mustahil sewaktu-waktu akan memuntahkan “lahar” dan membuncah ke permukaan lebih dasyat.

Tentunya, para anggota dewan harus tahu diri. Tidak tepat guna menghabiskan uang rakyat, untuk belajar etika ke luar negeri. Cukup belajar etika dari para penderita korban bencana itu. Kembalikan pada hati nurani pribadi masing-masing, posisikan diri sebagai korbannya, disitulah menemukan etika sebenarnya. Bagaimana rasa kepekaan, sikap empati akan ditemukan melalui terjun langsung sebagai “penggendong” rakyat. Jangan mengundang ‘erupsi” rakyat Indonesia.

*Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tidak ada komentar: