Oleh : ABDUL KHOLIQ*
MOBIL mewah Toyota Crown Royal Saloon, sudah dipastikan menjadi “tunggangan” (mobil dinas) pejabat Negara sekarang. Di tengah masyarakat yang masih terkungkung dalam “lumpur” krisis semacam ini, penentu kebijakan rasanya jauh dari keadilan rakyat.
Kalau penguasa memilki idealisme untuk memperjuangkan rakyat, saya yakin menjadi penguasa itu belum tentu enak hidupnya. Bagaimana bisa tenteram naik mobil mewah, jika melihat rakyat miskin tidak berkurang. Pekerja yang di-PHK makin banyak. Para pedagang kaki lima semakin tipis rezekinya ketika harus tergusur. Eksploitasi alam secara tak terkendali membuat rakyat miskin makin terpinggirkan. Bagaimana bisa naik Toyota Crown Royal Saloon sambil bersenandung, jika langka kebijakan ini tak disetujui rakyat sepenuhnya.
Namun, bagi penguasa yang tidak memiliki idealisme untuk memperjuangkan wong cilik, terpilihnya sebagai wakil rakyat atau penguasa. “Ini merupakan kesempatan untuk menikmati fasilitas Negara”. Kira-kira demikian gumam dalam hatinya. Mereka asyik bergincu, berparas cantik, sementara ada rakyat yang meringkuk kelaparan.
Padahal, suasana batin rakyat yang mulai kecewa adalah lahan subur bagi provokasi. Karena itu, jika tidak segera diatasi, rakyat bisa berubah menjadi air bah dan membobol tanggul kekuasaan. Pemicu utama adalah lapar, pengangguran serta hukum tidak adil.
Seorang pemimpin yang baik adalah yang menyadari bahwa kekuasaan yang dipegangnya adalah milik publik. Seperti, yang dicontohkan sosok Bung Hatta, ia tidak pernah mengambil keuntungan pribadi, baik sebagai wakil presiden/perdana menteri maupun saat pensiun, beliau tetap menjaga nama besar.
Seandainya Bung Hatta, mengetahui kebijakan yang tak berbanding lurus dengan kondisi rakyat, dipastikan ia berjalan tertunduk malu dan pastinya mengelus dada, miris dengan keputusan tersebut. Sebuah cerita, dikarenakan keinginan beliau dengan sepatu Balley, ia menyimpan guntingan iklan sepatu Balley dikoran dalam lipatan buku. Lama tidak kesampaian keinginannya sepatu itu, padahal pejabat Negara “sekelas” Hatta, siapa yang tidak ingin menghadiai beliau, kalau ia mau mengaku.
Betapa sederhananya Bung Hatta. Sepakat atau tidak, nama besar beliau saat ini nampaknya tinggal bentuk artefaknya saja, bahkan di jalan protokol masih terpampang namanya, akan tetapi, makna nilai kepribadiannya, kesederhanaanya, pemikirannya jauh di kontekstualisasikan oleh penguasa sekarang.
Kecintaan beliau kepada tanah air sunggu luar biasa, sehingga menimbulkan firasat-firasat, jauh kedepan meskipun ia bukan paranormal, firasat atau ramalan beliau mengatakan “Bila Indonesia sudah merdeka, rakyat tetap tertindas oleh yang berkuasa”. Kini, apakah ramalan Hatta menjadi kenyataan? Jawabannya terserah anda.
*Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar