OLEH: ABDUL KHOLIQ*
BISA dipastikan semua masyarakat yang memiliki pemikiran progresif dan berkemajuan, menikmati dan mengenyam pendidikan tinggi merupakan cita-cita dan keinginan yang tak terbantahkan. Pertanyaannya, apakah setiap elemen masyarakat bisa merasakan pahit, manisnya pendidikan?. Sudahkah Negara sesuai dengan rumusan pasal 31 Ayat (1) UUD 1945, bahwa “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Dari isi “kitab” ini, kesempatan untuk belajar melalui lembaga baik formal maupun non formal merupakan hak rakyat dan kewajiban Negara untuk diwujudkan kepada setiap insan pertiwi. Namun, dalam merealisasikannya tidak gampang dan tidak mudah. Masyarakat harus bergelut dengan tingginya biaya pendidikan. Misalnya, untuk belajar di sekolah unggulan (RSBI) atau kuliah. Diakui atau tidak, ada dikotomi antara kaum borjuis (berduit) dengan kaum proletar (jelata).
Bagi yang tidak memiliki duit dengan sendirinya tergusur, terpinggirkan dan tersisihkan. Sebab, yang sanggup memikul biaya kuliah itu, hanya orang kuat (berduit). Mulai dari mahalnya biaya formulir, registrasi uang gedung dan lain-lain. Kekuatan dari mana wong cilik, boro-boro untuk makan saja Alhamdulillah.
Hal ini mengindikasi bahwa, seolah sekolah tinggi (hanya) milik orang kaya. Padahal, banyak rakyat miskin yang kualitasnya bagus. Terpaksa, mereka harus merelakan yakni mengurungkan niatnya untuk sekolah, alasannya karena keterbatasannya.
Melihat semua itu, hadirnya globalisasi jelas ditunggangi oleh semangat fundamentalisme pasar, pendidikan tidak lagi sepenuhnya sebagai kewajiban pemerintah dalam upaya mencerdaskan bangsa atau proses pemerdekaan manusia, tetapi mulai bergeser menuju komodikasi pendidikan. Peranan mencerdaskan untuk warga semakin dikurangi dan digantikan oleh pasar.
Tidak heran, output pendidikan nasional mulai dari tingkat dasar sampai tinggi tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi hanya menghasilakan lulusan scientia, yakni kurang membekali anak didiknya semangat kebangsaan, semangat keadilan social, sifat-sifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai warga Negara.
Jika tidak disikapi, bahaya ini mengancam pendidikan kira dan tidak dipungkiri nantinya sekolah (hanya) teruntuk orang berduit. Lantas bagaimana nasip orang kecil? Tidak sedikit anak “pinggiran” memiliki otak encer.
Sebagai catatan juga, RSBI tidak sebatas jargon, bangga akan sebuah nama, tetapi bentuk tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas SDM bangsa kita sekaligus sebagai tauladan sekolah lainnya. Karena, parameternya tidak lagi dalam negeri. Wujud yang ditampakkan adalah pemecahan masalah nasional dan iternasional. Aneh dan ironi nantinya, ketika berlabel nama RSBI malah memecahkan permasalahan regional saja tidak pecus. Apalagi kualitasnya sama saja dengan sekolah standart (biasa), perlu dipertanyakan kembali dong RSBInya.
Oleh karena itu, ketika ada sinyalemen bahwa, orang miskin dilarang sekolah (kuliah), merupakan sebuah kebenaran yang bisa dimafhumkan secara logis, tatkalah pemerintah tidak ada pemihakan pada rakyat kecil, dan secara otomatis memperkuat statmen itu. Semoga mata hati pemerintah dibuka oleh sang Khaliq, sehingga anggaran 20 % pendidikan benar-benar terwujud. Amin.
*Mahasiswa Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Devisi Lembaga Pers dan Litbang IMM Cabang Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar