Pengunjung Blog

Rabu, 19 Januari 2011

TERGERUSNYA PASAR TRADISIONAL OLEH SISTEM KAPITALISME

 OLEH: ABDUL KHOLIQ*
RENOVASI pasar Dinoyo dan pasar Blimbing oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Malang  akan menuai polemik di masyarakat. Pasalnya, kedua pasar tradisional ini, disinyalir akan dijadikan pusat pembelanjaan modern atau sebuah apartemen.
Pasar Dinoyo yang terdapat 1.398 kios dan pasar blimbing sebanyak 2.019 unit lapak, akan disulap menjadi pusat pembelanjaan dengan gedung mega. Dengan kucuran dana yang fantastis, untuk merenovasi pasar tradisional ini, tidaklah sulit bagi pemerintah kota Malang. Lihat saja konsorsium PT Citra Gading Asritama Surabaya telah menyiapkan dana segar 191,8 M, sedangkan pasar  Blimbing oleh PT. Karya Indah Sukses, PT Fortunindo dan PT Raka Utama Surabaya dengan nilai investasi Rp. 249,3 M (18-04-’10, Radar Malang)..
Namun, diluar kemudahan pemkot Malang dalam merenovasi pasar itu, sejatinya menyimpan sebuah persoalan besar. Desiran hati ini bertanya, siapa yang dilimbungkan dan siapa yang diuntungkan dari proses ini?. Bisa dipastikan pedagang yang telah menghuni lapaknya sekian tahun akan semakin terpinggirkan, ketika sewa maupun harga jual stand setelah pasar tradisonal direnovasi menjadi lebih mahal. Bayangkan setiap lapak pasar Dinoyo akan dibebankan sebesar 6 juta sampai 52,5 juta.
Apalagi keberadaan kedua pasar ini akan digeser, dimarjinalkan yakni di letakkan di belakang pasar modern (mal atau apartemen). Tentunya sangat mempengaruhi para pedagang, yakni menyempitkan pendapatan para pedagang. selain itu, dapat menimbulkan kesenjangan sosial, dimana kaum kaya bisa memiliki lapak berukuran lebih atau lebih dari satu kios.
Lantas, bagaimana dengan nasip para pedagang kecil, seperti jual sayur, palawija, empon-empon yang sekian tahun menempati pasar ini? Menyitir dari Prof Dr Hotman Siahaan “pedagang tradisional ini tergolong masyarakat yang mandiri secara sosial ekonomi. Mereka bisa cari makan sendiri, selama ini tanpa bantuan dari pemerintah”. Penulis khawatir renovasi pasar justru akan mematikan mata rantai hidup pedagang. lantas, kepada siapa rakyat nantinya menggantungkan hidupnya? Tatkala pasar tradisional semakin tergerus.
Pernyataan ini yang harus dipikirkan, selanjutnya dipertimbangkan para pemegang kendali kota Malang. Selama ini pasar tradisional merupakan kekuatan ekonomi rakyat. Dimana masyarakat yang ekonominya lemah, pasar tradisional-lah yang bisa menjangkau pundi kantongnya. Sebab, pasar tradisional dapat menjembatani kesenjangan sosial, antara miskin dan kaya. Di pasar tradisional pula ada moda interaksi (transaksi) antara penjual dan pembeli.
Dalih relokasi, revitalisasi atau renovasi pasar tidak terjadi di Malang saja. Melainkan, diberbagai daerah di Jawa Timur. Pasar Babat Lamongan, misalnya, setelah direnovasi oleh investor, ada imbas terhadap pedagang, lapak yang disediakan ditarif dengan retribusi mahal (kompas, 21-01-‘10). Maka tidak mustahil para pedagang di pasar Dinoyo dan Blimbing akan mengalami seperti halnya di pasar Babat, atau bahkan tergusur habis.
Dalam konteks praksis di Malang, sistem kapitalisme telah merasuk dalam birokrasi pemerintahan. Ketika uang menjadi bahasa politik, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan atau dimiskinkan dalam keserakahan orang kaya baru. Idealisme pemilih (rakyat) dirobohkan, otoritas Pemilihan Umum Daerah dihancurkan, karena nilai-nilai investor bisa mendikte kebijakan politik.
Sinergi antara investor dan penguasa yang menjadi pintu masuk bagi korupsi politik pada akhirnya harus membayar mahal oleh pelemahan institusi penegak hukum. Institusi ini bukan saja mewarisi penyakit lama sebagai mafia hukum, tetapi dalam perkembangannya dilemahkan oleh otoritas politik untuk menutupi korupsi politik.
Sistem kapitalisme juga akan selalu menciptakan laba tinggi. Berarti bahwa perusahaan kapitalis harus, antara lain, terus-menerus mencari area geografis (pasar) baru untuk mengeksploitasi dan menemukan cara yang lebih lengkap untuk mengeksploitasi area dimana mereka telah beroperasi. Contoh gamblangnya berdirinya Matos dan MoG, dan tinggal menunggu waktu matos-matos lainnya.
Perlu menjadi pertimbangan, sebab pada dasarnya setiap warga dari sebuah masyarakat-bangsa memiliki hak yang sama, dan karena hak yang sama itu maka tidak bisa diterima sekelompok lain memaksakan kehendaknya semau sendiri, tanpa memperdulikan kepentingan warga yang lain. Dari hal seperti ini, lalu muncul soal mayoritas/minoritas, dan pada akhirnya masalahnya disepakati bahwa arah yang ditekankan itu haruslah selalu bisa dipertanggungjawabkan oleh pihak yang berkuasa.
Terlepas dari itu, tujuan umum dari politik tidak lain adalah mencegah agar saat berkuasa (pemerintah) tidak akan sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya dan dilain pihak kewajiban pemerintah itu agar menjaga kesejahteraan masyarakat secara keseluruan.    
Semua masyarakat mendambakan keadilan sebagai unsur hakiki peradaban dan kebudayaan. Namun, keadilan dalam makna sempurna (benar-benar adil) memang sulit, bahkan mustahil untuk dihadirkan. Hal ini sama dengan keadilan yang diberikan kepada pedagang kecil dengan para pemodal ada kesenjangan atau jarak yang sangat jauh. Makna keadilan itu nisbi sambil tak pernah jelas mengenal batasan pemilah antara yang dianggap adil dan tidak adil.
Oleh karena itu, wali kota, DPRD, jika masih memiliki kepedulian terhadap perbaikan kehidupan rakyat kecil. Ingat fondasi demokrasi terletak pada rakyat, “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dengan demikian, pemerintahan harus digerakkan demi rakyat, bukan sekedar elite politik dan ekonomi


*Pegiat Center for Religious and Social Studies (RëSIST) dan
Aktivis IMM Cabang Malang

Tidak ada komentar: