Oleh : Abdul Kholiq*
Judul buku : Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan
(Menuju Demokrasi dan Kesadaran Bernegara)
Penulis : Dr. Moeslim Abdurrahman
Penerbit : Impulse
Cetakan : I, 2009
Tebal : 296 Halaman
KUALITAS keimanan atau tingkat kesalehan spiritual seseorang seringkali dilihat dari sisi ibadah formal. Meningkatnya jumlah jama’ah haji dari tahun ke tahun bahkan ada yang lebih dari sekali atau dua kali berhaji, makin ramainya masjid dikerumuni oleh jama’ah sholat, dan makin kencangnya hembusan suara bacaan al-Qur’an disaat bulan ramadhan, mempercantik masjid sebagai rumah impian di surga.
Hal tersebut menjadi indikakator kesadaran seorang dalam beragama.
Namun, kenyataan tersebut tidak sejalan atau berbanding lurus dengan mengurangnya jumlah kemiskinan bahkan cenderung bertambah. PHK pekerja akibat krisis yang dialami perusahannya, penggusuran PKL yang mayoritas menjadi tempat orang miskin untuk mengais rezkinya, eksploitasi alam besar-besar oleh perusahaan yang mengakibatkan rakyat miskin makin terpinggirkan.
Ditambah lagi dengan keterbatasan akses politik, sosial dan ekonomi bagi mereka, makin menambah kesulitan orang miskin untuk memperbaiki kehidupannya. Lantas, dimanakah peran agama secara individual maupun institusional/ organisasional?. Orang yang mengaku beragama ketika memegang kekuasaan, dimanakah kebijakan yang institusional yang lebih memberikan akses bagi kaum miskin?
Kegelisahan keagamaan tersebut kiranya terjawab dalam buku Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan, yang ditulis DR. Moeslim Abdurrahman, walaupun belum sampai pada kesempurnaan (masih terbuka ruang diskursusnya). Bagi Moeslim, sosiolog yang hidupnya bergelut dalam dunia Pemberdayaan, LSM dan Ormas, makna Islam yang paling murni bukanlah terletak pada rumusan teologisnya (apalagi yang dibukukan para ulama), tetapi muncul dari pergulatan hidup sehari-hari para umatnya untuk menegakkan keadilan, keadaban (amar ma’ruf), dan menghidupkan cita-cita kemanusiaan yang merdeka, bebas dan terhormat (nahi ‘annil munkar) (h. 7).
Buku tersebut sangat menggelitik determinasi faham keagamaan kita selama ini. Tidak cukup dengan itu, manifestasi prilaku keagamaan yang selama ini kita anggap benar, seperti memperkaya ritual keagamaan, sholat dan haji, mempercantik wajah dengan berjilbab, menemukan titik kering fungsi keagamaan kita ketika membaca buku ini.
Kesalehan ritualistik sekarang ini lebih banyak dipertontonkan dengan ungkapan yang mahal dan bergengsi (seolah-olah menjadi gaya hidup) dibanding sebagai sebagai kekuatan yang asketik tentang pentingnya menegakkan nilai-nilai kesetaraan yang lebih manusiawi. Lebih lanjut, bagaimanapun khusuknya ibadah kita, sebuah kesalehan tak akan memberikan makna yang sejati, jika kesalehan itu tidak mengalirkan makna perubahan. Mengamalkan Islam, mengamalkan kesalehan, adalah sama halnya melakukan kritik sosial dalam rangka menghidupkan terus-menerus cita-cita keadilan dan kesetaraan manusia itu sendiri. Kata Doktor lulusan University of lllinois, Urbana, Amerika Serikat ini.
Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah argumentasi sosial yang transformatif, didasarkan pada rasional-obyektif, kenyataan sosial, pengalaman hidup orang lain maupun penulisnya sendiri ketika bersinggungan dengan kemungkaran sosial yang dihadapinya. Bukan pada refleksi teologis yang fiktif, ahistoris dan utopis, tetapi dialektika teks-teks suci dengan kenyataan riil kaum pinggiran, kaum mustadh’afin. Sehingga, tidak berlebihan kiranya buku Suara Tuhan Suara Pemerdekaan, menemukan relavansinya dalam memberi konstribusi penyelesaian kehidupan sosial kita.
Dalam buku ini, Moeslim mengatakan dan sekaligus menawarkan bahwa Islam bersuara transformatif . Islam lahir sebagai kritik sosial terhadap hegemonitas struktur sosial yang tidak adil yang membuat marginalisasi kaum pinggiran. struktur yang tidak adil juga membatasi akses perubahan bagi kaum marginal. Kang Moeslim selalu mengkategorisasikan tiga tingkat kemiskinan, kemiskinan institusi politik, kemiskinan institusi ekonomi, dan kemiskinan institusi keagamaan. Kaum pinggiran tidak diberi kesempatan untuk memutuskan sendiri.
Karakter normatif Islam pada dasarnya bersifat populis dan egaliter, yaitu bahwa setiap manusia dilahirkan mempunyai peluang yang terus menerus untuk mendapatkan tingkat ketakwaan yang sama dihadapan Tuhannya. Sehingga apapun hambatan struktur sosial yang mengitari seseorang, jika seseorang tersebut diberi peluang mengubah nasibnya , maka ia akan muncul sebagai human agency yang dapat mengubah hambatan struktur tersebut.
Dalam mewujudkan perubahan transformatif, dengan kepercayaan setiap manusia memilki kemampuan sendiri, tidak ada manusia yang serta merta mati dalam strukturnya karena kehidupan pada dasarnya merupakan proses sejarah yang terus menerus bergerak dan pergerakan sejarah sesungguhnya merupakan pergulatan antara “kesadaran” yang terus menerus melakukan negosiasi dengan kemapanan struktur sosial, ekonomi dan politik “ungkap Moeslim”.
Yang menjadi sebuah pertanyaan adalah, dari manakah perubahan harus dimulai? apakah lebih menentukan struktur atau kultur yang menguasai kehidupan umat manusia. Penulis berpendapat, bagaimanapun tetap saja relevan kalau kita tetap konsisten bahwa agama merupakan kehendak Tuhan yang meneguhkan cita-cita emansipasi sebagai tujuan ketaqwaan yang paling tinggi. Dengan demikian, teologi merupakan bentuk kesadaran manusia yang paling tinggi dengan suara keimanan dan keyakian seseorang menjadi spirit pemerdekaan dari setiap struktur yang menindas, apapun bentuknya.
Mereka yang percaya bahwa struktur merupakan kekuatan deterministik pasti menganggap, bahwa kultur selalu tidak otonom dari struktur. Moda interpretasi dari kultur sangat dipengarui oleh moda produksi, sehingga orang-orang kaya dibandingkan dengan yang ekonominya lemah tentu mereka memproduksi makna-makna kesalehan dan ekspresinya yang berbeda berdasarkan lapisan sosial mereka.
Namun jika teologi yang berwatak pemerdekaan mampu memberikan suara perlawanan simbolik, dengan mengartikulasikan kesadaran-kesadaran penindasan yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, maka agama akan muncul sebagai kekuatan provetik dan bukan sebaliknya malah menenteramkan kesadaran palsu, bahwa orang miskin ya bagaimana tidak miskin, toh mereka memang lahir dalam struktur sosialnya yang miskin.
Karena itu, orang miskin akan tetap saja rugi di dunia dan diakhirat, sebab biarpun sebagai ”subjek” manusia mereka diciptakan sebagai rumpun yang sama, rumpun manusia yang hanif. Tetapi, karena daya beli untuk berbelanja ”kesalehan” mereka miskin, tetap mereka menjadi ”objek” dalam pembentukan makna ke-islaman dan dalam mewujudkan ke-umat-an sebagai bentuk kolektifitas keimanan.
Jika dibawa ke dalam konteks praksis di Indonesia, maka sepakat atau tidak, sekarang ini bentuk nasionalisme kita yang masih terawat dengan baik tinggal bentuk artefaknya saja. Bendera masih merah-putih, orang-orang masih membutuhkan KTP dan paspor sebagai identitas kewarganegaraan dan nama pahlawan yang tetap terpampang di jalan-jalan protokol. Akan tetapi, nasionalisme sebagai kesadaran, sebagai solidaritas kebangsaan, dan sebagai kebanggaan terhadap bangsa rasanya semakin tidak jelas.
Kejadian busung lapar, gizi buruk, soal anak murid bunuh diri akibat tidak mampu membayar uang sekolahnya, kaitannya dengan soal penghematan yang diseruhkan secara moral sekarang ini, apakah mungkin seruan seperti itu berpengaruh kalau Negara juga kelihatan malu melakukan regulasi, kalau nasionalisme juga tidak lagi mengalirkan solidaritas sosial, kalau partai-partai kehilangan cita-cita politiknya, apalagi jika ternyata agama-agama telah berubah menjadi oggokan ormas, masihkah ada harapan keadilan yang populis?. (h. 188)
Pertanyaan ini mengingatkan kita betapa miskinnya konsep dan makna politik yang kita miliki. Benar bahwa kita mempunyai KTP, mempunyai nomor wajib pajak, mempunyai Negara, juga mempunyai kelembagaan formal politik yang disebut partai-partai. Namun, semua perangkat politik yang kita miliki itu, ternyata tidak mampu menyentuh masalah sosial bahwa realitas seperti busung lapar dan meninggalnya anak-anak yang diimunisasi polio itu seharusnya menjadi panggilan suci politik kita untuk mengatasinya.
Ironis memang, tatkala perjalanan bangsa ini terpuruk seperti sekarang ini, kita kehilangan patriotisme dengan makna baru, kita juga kehilangan makna demokrasi sosial yang baru, bahkan keimanan kita juga telah redup dalam birokrasi agama masing-masing, dan lupa akan adanya teologi sosial yang baru yang bisa menggugah solidaritas, yang merupakan nilai paling tinggi yang harus dijunjung bersama dalam bermasyarakat.
Disinilah kehadiran teologi baru menjadi tumpuan dan harapan untuk teratasinya kemelut sosial dan kemanusiaan. Sebuah rumusan syari’ah yang pro-kemanusiaan, yang mungkin bisa membangkitkan kembali kesadaran, bahwa kesengsaraan bukanlah merupakan gejalah ekonomi dan politik dimana korbannya harus memikul semua secara individual, tetapi sesunggunya merupakan tantangan kemanusiaan yang harus dijawab dengan tanggung jawab bersama-sama.
Dengan kerja teologis, setiap agama akan mampu mengeluarkan cita-cita sosilanya, tanpa harus menghilangkan keunikannya masing-masing dalam praktik ritual dan penghayatan spiritualnya. Akankah agama-agama mampu melakukan kerja sama membangun teologi sosial yang baru yang bisa menyuarakan secara politik bahwa “Suara Tuhan adalah suara orang miskin”atau” tangisnya orang lapar adalah tangis Tuhan”, sehingga sejarah kesengsaraan manusia bisa berubah. Mudah-mudahan saja semua ini dapat terwujud.
*Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar