Dalam beberapa minggu ini di kota Yogyakarta, terdapat spanduk-spanduk bertebaran dalam rangka menyambut Muktamar Muhammadiyah Satu Abad. Mengamati sejarah berdirinya Muhammadiyah ( 1912 ) memang dari telaah sosiologis masyarakat perkotaan di Yogyakarta.
Dalam cakupan teori budaya, Muhammadiyah memang terletak dalam center of veri-veri. Namun seiring perkembangan kota-kota khususnya di Sumatra dan Jawa, Muhammadiyah cukup subur di ranah perkotaan. Sebaliknya masyarakat perkotaan cukup mengalami pragmatisme yang sungguh rasional. Kendaraan bermotor yang lalu lalang, kereta api yang setiap hari lewat, jam kerja yang harus dipatuhi, jam pendidikan dimana setiap siswa dan mahasiswa harus pergi dengan kendaraan, transaksi bisnis dan perdagangan, jasa transportasi yang begitu padat, dan lain sebagainya.
Membuat masyarakat perkotaan cukup kering dengan spiritual yang ada sehingga menerima ajaran keagamaan dengan apa adanya ( taken for granted ). Belum lagi efek liberalisme pasca reformasi membuat Islam Indonesia melahirkan gerakan-gerakan baru seperti : Tarbiyah, Hizbut Tahrir, dan gerakan Wahhabi. Mereka memang lahir dari rahim masyarakat perkotaan. Hiruk pikuk masyarakat perkotaan membuat orang menjadi instant menerima penafsiran keagamaan sehingga yang terjadi adalah klaim kebenaran absolut.
Dari penjelasan diatas dapat dimaklumkan bahwa Muhammadiyah cukup stagnan dengan menghadapi tantangan zaman yang ada. Wajar apabila Muhammadiyah saat ini masih terjerembab pada persoalan halal maupun haram tanpa memikirkan pertimbangan geografis-sosiologis. Bayangkan untuk contoh kasus fatwa haram rokok, beberapa kader Muhammadiyah di Bojonegoro dan Deli terpaksa keluar karena mereka masih mempunyai mata pencaharian dari tembakau itu sendiri. Ini disebabkan karena tidak adanya pengkajian-pengkajian yang komparatif didasarkan ilmu pengetahuan.
Majelis ilmu yang berada di akar rumput Muhammadiyah cukup terjebak pada teologi gado-gado semata dan generasi mudanya pun kehilangan spirit-intelektual sehingga terpatok pada persoalan rutinitas-struktural dan teknis-pragmatis. Pola klasik rutinitas-struktural membuat pengurus Muhammadiyah nyaman dengan rumah besarnya sendiri sehingga tidak akomodatif dengan hal yang baru.
Selanjutnya adalah persoalan generasi muda yang ada di tubuh Muhammadiyah yang telah kehilangan nilai perjuangan yang berupa kesederhanaan dan keprihatinan. Semua didukung dengan fasilitas yang cukup mapan dari Muhammdiyah sehingga kader muda Muhammadiyah jarang keluar dari zona nyaman alias keluar dari struktural. Basis-basis kultural dianggap tidak memberikan pengaruh karena tidak memberikan bukti. Lain dengan struktural yang memberikan bukti yang terdata. Padahal basis-basis kultural tetap memberikan pengaruh dalam ranah pemahaman dan aksi.
Kedua, hilangnya identitas kultural Muhammadiyah cukup berpengaruh bagi generasi mudanya. Misalnya adanya pengajian tanpa pengkajian. Hal ini cukup berpengaruh, karena tidak adanya dialog antara kitab-kitab klasik dengan kitab-kitab kontemporer sehingga hanya terdapat justifikasi semata. Karena mayoritas kader muda Muhammadiyah berasal dari sekolah-sekolah dan pesantren modern perkotaan. Maka mereka mereka kurang mengenal bagaimana antara kitab klasik ( kitab kuning ) dengan kitab kontemporer ( kitab putih ) saling melengkapi bukan saling menutup diri dan saling mengisolir.
Hal ini terjadi ketika Muhammadiyah menyerukan tachayul, bid’ah, churafat ( TBC ) sontak seluruh hal-hal bersifat mitos dihilangkan. Padahal mitos tidak dapat dipungkiri dan selalu terjadi pada diri manusia yang selalu memerlukan simbol. Di satu sisi mitos mempunyai fungsi menjaga lingkungan. Untuk kasus di Gunung Kidul saja pohon-pohon ditebangi karena telah terkena iklim eksploitasi dan kepercayaan mitos masyarakatnya telah hilang. Padahal dengan adanya mitos tersebut justru membuat alam sekitar tersebut terjaga sehingga daya serap air tetap mengalir. Bagaimana Muhammadiyah menghadapi tantangan tersebut dengan pertimbangan ekologis. Menurut pengamatan penulis belum ada.
Terakhir dalam opini ini, bahwa Muhammadiyah telah kehilangan daya kreativitasnya. Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah masih bersifat normatif. Amati saja dulu tahun 1994an, Muhammadiyah mempunyai strategi dengan pendekatan keolahragaan sekarang sudah lenyap, seperti : Persatuan Bola Hizbul Wathan ( PS HW ). Mestinya jika Muhammadiyah mengusung gerakan pembaruan, sekarang akan ada komunitas-komunitas keolahragaan seperti : bola basket, voli, dan lain-lain yang mengasah generasi muda untuk selalu bekerja dalam satu tim ( teamworks ). Juga patut digagas strategi dengan pendekatan kesenian yang identik dengan Muhammadiyah. Harapannya dengan momentum muktamar ini, Muhammadiyah selalu dinamis untuk menghadapi tantangan zaman dan ruang. Semoga.
oleh: Ahmad Mujahid Arrozy (teman UGM dan aktivis IMM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar