Pengunjung Blog

Sabtu, 12 Maret 2011

GEDUNG (“PENCAKAR”) RAKYAT

OLEH: ABDUL KHOLIQ*
DANA fantastis untuk pembangunan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menelan dana kurang lebih 1,3 trilyun  menuai protes dari masyarakat. Kendati demikian, DPR sebagai penyambung lidah rakyat, seolah tidak mau mendengarkan “jeritan” rakyat.
Kenaikan harga bahan pokok dan kondisi ekonomi yang tidak menentu semakin menekan rakyat. Agar bertahan hidup, sebagian penduduk terpaksa berutang atau mengurangi makan. Namun, ada pula yang mengambil jalan pintas dengan bunuh diri (Kompas,7-01-11’).
Adalah potret bagaimana akutnya permasalahan “jubah” republik kita. Diluar radius itu, kemiskinan kian melunjak, korupsi mencekeram, belum tuntasnya pekerjaan rumah (PR) kasus century, rekening gendut polisi dan lainnya. Para wakil rakyat malah bersikukuh membangun monumen sendiri. Menyaksikan simpang siur perilakau elite kita akhir-akhir ini. Hati saya bertanya-tanya, dimana letak nurani mereka? Apa yang kau cari wahai wakil rakyat?.
Rakyat kecil hanya menjadi penonton tingkah para elit politik. Kita (rakyat) terpesona menyaksikan para politisi saling berebut “tulang” politik tanpa sekali pun menoleh ke bawah. Perdebatan di parlemen silih berganti, tak ada ujung penyelesaian. Hanya menghasilkan sandiwara seolah memperjuangkan wong cilik. Padahal, fetback selama ini belum sepenuhnya tertujuh pada kemaslahatan kaum papa. Hanya sebatas tontonan saban tiap ada kasus besar menjadi konsumsi publik.
Pendek kata, popularitas jarang dibangun dari keringat kerja politik, melainkan iklan politik belaka. Diakui atau tidak, Anggota Dewan sama sekali belum (baca: tidak) merepresensikan rakyat, potret sebagai wakil rakyat buram akibat kebijakan mereka tidak untuk kehendak umum. Tetapi, bagaimana pengambilan kebijakan selalu di putar-putar dan ujung-ujungnya mengarah pada kepentingan komunal tertentu atau golongannya.
Maka kemudian, janji-janji yang disampaikan dalam kampaye bak malaikat penyelamat, adalah omong kosong belaka. Sebab, ditengah “tangisan” prahara bencana korupsi, bencana ketidak adilan, bencana lemahnya hukum atau bencana alam selama ini yang menimpah masyarakat Indonesia. Justru tindakan yang dilakukan para pemangku kebijakan justru diluar etika. Sekalipun, para Anggota Dewan pernah “memburu” etika nun jauh di Yunani.
Sedemikian hingga, maka kemewahan gedung parlemen sepertinya tidak ada relevansinya dan arti subtansinya, manakala tidak diimbangi dengan kinerja maksimal. Indahnya monumen wakil rakyat sepertinya hanya akan menjadi “pencakar” rakyat. Kalau tidak ada idealisme untuk memperjuangkan rakyat. Apalagi para penguasa  sambil bersenandung dalam kursih kemegahan sementara rakyatnya terkungkung dalam lumpur kesengsaraan. Terima kasih.
*Mahasiswa Matematika Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Rabu, 19 Januari 2011

TERGERUSNYA PASAR TRADISIONAL OLEH SISTEM KAPITALISME

 OLEH: ABDUL KHOLIQ*
RENOVASI pasar Dinoyo dan pasar Blimbing oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Malang  akan menuai polemik di masyarakat. Pasalnya, kedua pasar tradisional ini, disinyalir akan dijadikan pusat pembelanjaan modern atau sebuah apartemen.
Pasar Dinoyo yang terdapat 1.398 kios dan pasar blimbing sebanyak 2.019 unit lapak, akan disulap menjadi pusat pembelanjaan dengan gedung mega. Dengan kucuran dana yang fantastis, untuk merenovasi pasar tradisional ini, tidaklah sulit bagi pemerintah kota Malang. Lihat saja konsorsium PT Citra Gading Asritama Surabaya telah menyiapkan dana segar 191,8 M, sedangkan pasar  Blimbing oleh PT. Karya Indah Sukses, PT Fortunindo dan PT Raka Utama Surabaya dengan nilai investasi Rp. 249,3 M (18-04-’10, Radar Malang)..
Namun, diluar kemudahan pemkot Malang dalam merenovasi pasar itu, sejatinya menyimpan sebuah persoalan besar. Desiran hati ini bertanya, siapa yang dilimbungkan dan siapa yang diuntungkan dari proses ini?. Bisa dipastikan pedagang yang telah menghuni lapaknya sekian tahun akan semakin terpinggirkan, ketika sewa maupun harga jual stand setelah pasar tradisonal direnovasi menjadi lebih mahal. Bayangkan setiap lapak pasar Dinoyo akan dibebankan sebesar 6 juta sampai 52,5 juta.
Apalagi keberadaan kedua pasar ini akan digeser, dimarjinalkan yakni di letakkan di belakang pasar modern (mal atau apartemen). Tentunya sangat mempengaruhi para pedagang, yakni menyempitkan pendapatan para pedagang. selain itu, dapat menimbulkan kesenjangan sosial, dimana kaum kaya bisa memiliki lapak berukuran lebih atau lebih dari satu kios.
Lantas, bagaimana dengan nasip para pedagang kecil, seperti jual sayur, palawija, empon-empon yang sekian tahun menempati pasar ini? Menyitir dari Prof Dr Hotman Siahaan “pedagang tradisional ini tergolong masyarakat yang mandiri secara sosial ekonomi. Mereka bisa cari makan sendiri, selama ini tanpa bantuan dari pemerintah”. Penulis khawatir renovasi pasar justru akan mematikan mata rantai hidup pedagang. lantas, kepada siapa rakyat nantinya menggantungkan hidupnya? Tatkala pasar tradisional semakin tergerus.
Pernyataan ini yang harus dipikirkan, selanjutnya dipertimbangkan para pemegang kendali kota Malang. Selama ini pasar tradisional merupakan kekuatan ekonomi rakyat. Dimana masyarakat yang ekonominya lemah, pasar tradisional-lah yang bisa menjangkau pundi kantongnya. Sebab, pasar tradisional dapat menjembatani kesenjangan sosial, antara miskin dan kaya. Di pasar tradisional pula ada moda interaksi (transaksi) antara penjual dan pembeli.
Dalih relokasi, revitalisasi atau renovasi pasar tidak terjadi di Malang saja. Melainkan, diberbagai daerah di Jawa Timur. Pasar Babat Lamongan, misalnya, setelah direnovasi oleh investor, ada imbas terhadap pedagang, lapak yang disediakan ditarif dengan retribusi mahal (kompas, 21-01-‘10). Maka tidak mustahil para pedagang di pasar Dinoyo dan Blimbing akan mengalami seperti halnya di pasar Babat, atau bahkan tergusur habis.
Dalam konteks praksis di Malang, sistem kapitalisme telah merasuk dalam birokrasi pemerintahan. Ketika uang menjadi bahasa politik, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan atau dimiskinkan dalam keserakahan orang kaya baru. Idealisme pemilih (rakyat) dirobohkan, otoritas Pemilihan Umum Daerah dihancurkan, karena nilai-nilai investor bisa mendikte kebijakan politik.
Sinergi antara investor dan penguasa yang menjadi pintu masuk bagi korupsi politik pada akhirnya harus membayar mahal oleh pelemahan institusi penegak hukum. Institusi ini bukan saja mewarisi penyakit lama sebagai mafia hukum, tetapi dalam perkembangannya dilemahkan oleh otoritas politik untuk menutupi korupsi politik.
Sistem kapitalisme juga akan selalu menciptakan laba tinggi. Berarti bahwa perusahaan kapitalis harus, antara lain, terus-menerus mencari area geografis (pasar) baru untuk mengeksploitasi dan menemukan cara yang lebih lengkap untuk mengeksploitasi area dimana mereka telah beroperasi. Contoh gamblangnya berdirinya Matos dan MoG, dan tinggal menunggu waktu matos-matos lainnya.
Perlu menjadi pertimbangan, sebab pada dasarnya setiap warga dari sebuah masyarakat-bangsa memiliki hak yang sama, dan karena hak yang sama itu maka tidak bisa diterima sekelompok lain memaksakan kehendaknya semau sendiri, tanpa memperdulikan kepentingan warga yang lain. Dari hal seperti ini, lalu muncul soal mayoritas/minoritas, dan pada akhirnya masalahnya disepakati bahwa arah yang ditekankan itu haruslah selalu bisa dipertanggungjawabkan oleh pihak yang berkuasa.
Terlepas dari itu, tujuan umum dari politik tidak lain adalah mencegah agar saat berkuasa (pemerintah) tidak akan sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya dan dilain pihak kewajiban pemerintah itu agar menjaga kesejahteraan masyarakat secara keseluruan.    
Semua masyarakat mendambakan keadilan sebagai unsur hakiki peradaban dan kebudayaan. Namun, keadilan dalam makna sempurna (benar-benar adil) memang sulit, bahkan mustahil untuk dihadirkan. Hal ini sama dengan keadilan yang diberikan kepada pedagang kecil dengan para pemodal ada kesenjangan atau jarak yang sangat jauh. Makna keadilan itu nisbi sambil tak pernah jelas mengenal batasan pemilah antara yang dianggap adil dan tidak adil.
Oleh karena itu, wali kota, DPRD, jika masih memiliki kepedulian terhadap perbaikan kehidupan rakyat kecil. Ingat fondasi demokrasi terletak pada rakyat, “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dengan demikian, pemerintahan harus digerakkan demi rakyat, bukan sekedar elite politik dan ekonomi


*Pegiat Center for Religious and Social Studies (RëSIST) dan
Aktivis IMM Cabang Malang

Sabtu, 08 Januari 2011

MUHAMMADIYAH DAN GELIAT MASYARAKAT PERKOTAAN

Dalam beberapa minggu ini di kota Yogyakarta, terdapat spanduk-spanduk bertebaran dalam rangka menyambut Muktamar Muhammadiyah Satu Abad. Mengamati sejarah berdirinya Muhammadiyah ( 1912 ) memang dari telaah sosiologis masyarakat perkotaan di Yogyakarta.

Dalam cakupan teori budaya, Muhammadiyah memang terletak dalam center of veri-veri. Namun seiring perkembangan kota-kota khususnya di Sumatra dan Jawa, Muhammadiyah cukup subur di ranah perkotaan. Sebaliknya masyarakat perkotaan cukup mengalami pragmatisme yang sungguh rasional. Kendaraan bermotor yang lalu lalang, kereta api yang setiap hari lewat, jam kerja yang harus dipatuhi, jam pendidikan dimana setiap siswa dan mahasiswa harus pergi dengan kendaraan, transaksi bisnis dan perdagangan, jasa transportasi yang begitu padat, dan lain sebagainya.

Membuat masyarakat perkotaan cukup kering dengan spiritual yang ada sehingga menerima ajaran keagamaan dengan apa adanya ( taken for granted ). Belum lagi efek liberalisme pasca reformasi membuat Islam Indonesia melahirkan gerakan-gerakan baru seperti : Tarbiyah, Hizbut Tahrir, dan gerakan Wahhabi. Mereka memang lahir dari rahim masyarakat perkotaan. Hiruk pikuk masyarakat perkotaan membuat orang menjadi instant menerima penafsiran keagamaan sehingga yang terjadi adalah klaim kebenaran absolut.

Dari penjelasan diatas dapat dimaklumkan bahwa Muhammadiyah cukup stagnan dengan menghadapi tantangan zaman yang ada. Wajar apabila Muhammadiyah saat ini masih terjerembab pada persoalan halal maupun haram tanpa memikirkan pertimbangan geografis-sosiologis. Bayangkan untuk contoh kasus fatwa haram rokok, beberapa kader Muhammadiyah di Bojonegoro dan Deli terpaksa keluar karena mereka masih mempunyai mata pencaharian dari tembakau itu sendiri. Ini disebabkan karena tidak adanya pengkajian-pengkajian yang komparatif didasarkan ilmu pengetahuan.

Majelis ilmu yang berada di akar rumput Muhammadiyah cukup terjebak pada teologi gado-gado semata dan generasi mudanya pun kehilangan spirit-intelektual sehingga terpatok pada persoalan rutinitas-struktural dan teknis-pragmatis. Pola klasik rutinitas-struktural membuat pengurus Muhammadiyah nyaman dengan rumah besarnya sendiri sehingga tidak akomodatif dengan hal yang baru.

Selanjutnya adalah persoalan generasi muda yang ada di tubuh Muhammadiyah yang telah kehilangan nilai perjuangan yang berupa kesederhanaan dan keprihatinan. Semua didukung dengan fasilitas yang cukup mapan dari Muhammdiyah sehingga kader muda Muhammadiyah jarang keluar dari zona nyaman alias keluar dari struktural. Basis-basis kultural dianggap tidak memberikan pengaruh karena tidak memberikan bukti. Lain dengan struktural yang memberikan bukti yang terdata. Padahal basis-basis kultural tetap memberikan pengaruh dalam ranah pemahaman dan aksi.

Kedua, hilangnya identitas kultural Muhammadiyah cukup berpengaruh bagi generasi mudanya. Misalnya adanya pengajian tanpa pengkajian. Hal ini cukup berpengaruh, karena tidak adanya dialog antara kitab-kitab klasik dengan kitab-kitab kontemporer sehingga hanya terdapat justifikasi semata. Karena mayoritas kader muda Muhammadiyah berasal dari sekolah-sekolah dan pesantren modern perkotaan. Maka mereka mereka kurang mengenal bagaimana antara kitab klasik ( kitab kuning ) dengan kitab kontemporer ( kitab putih ) saling melengkapi bukan saling menutup diri dan saling mengisolir.

Hal ini terjadi ketika Muhammadiyah menyerukan tachayul, bid’ah, churafat ( TBC ) sontak seluruh hal-hal bersifat mitos dihilangkan. Padahal mitos tidak dapat dipungkiri dan selalu terjadi pada diri manusia yang selalu memerlukan simbol. Di satu sisi mitos mempunyai fungsi menjaga lingkungan. Untuk kasus di Gunung Kidul saja pohon-pohon ditebangi karena telah terkena iklim eksploitasi dan kepercayaan mitos masyarakatnya telah hilang. Padahal dengan adanya mitos tersebut justru membuat alam sekitar tersebut terjaga sehingga daya serap air tetap mengalir. Bagaimana Muhammadiyah menghadapi tantangan tersebut dengan pertimbangan ekologis. Menurut pengamatan penulis belum ada.

Terakhir dalam opini ini, bahwa Muhammadiyah telah kehilangan daya kreativitasnya. Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah masih bersifat normatif. Amati saja dulu tahun 1994an, Muhammadiyah mempunyai strategi dengan pendekatan keolahragaan sekarang sudah lenyap, seperti : Persatuan Bola Hizbul Wathan ( PS HW ). Mestinya jika Muhammadiyah mengusung gerakan pembaruan, sekarang akan ada komunitas-komunitas keolahragaan seperti : bola basket, voli, dan lain-lain yang mengasah generasi muda untuk selalu bekerja dalam satu tim ( teamworks ). Juga patut digagas strategi dengan pendekatan kesenian yang identik dengan Muhammadiyah. Harapannya dengan momentum muktamar ini, Muhammadiyah selalu dinamis untuk menghadapi tantangan zaman dan ruang. Semoga.

oleh: Ahmad Mujahid Arrozy (teman UGM dan aktivis IMM)

BERSAMA (SEPAK BOLA) KITA BISA?

OLEH : ABDUL KHOLIQ*

EUFORIA sepak bola menyeruak diranah publik. Minggu-minggu kemarin, kita dihadapkan pada dua puluh dua lelaki saling berjuang (berebut) bola, demi mengharumkan negerinya. Melajunya Timnas ke final piala AFF dengan nilai sempurna, patut kita apresiasi tinggi. Walaupun, pada akhir perjalanan timnas menuju tangga juara terhenti oleh Malaysia.

Turnamen AFF benar-benar telah menyita perhatian jutaan rakyat Indonesia. Harapan masyarakat yang begitu besar, untuk bisa membawa pulang piala ke pangkuan pertiwi sunggu di nantikan. Dalam posisi bangsa (yang) mulai terkikis dari “percaturan” asia tenggara/dunia, melalui media (baca: sepak bola) ingin mengembalikan identitas diri, sebagai bangsa diperhitungkan.

Di tengah bangsa tertatih, kemiskinan cenderung bertambah. PHK pekerja akibat krisis yang dialami perusahannya, penggusuran PKL yang mayoritas menjadi tempat orang miskin untuk mengais rezkinya, eksploitasi alam besar-besar oleh perusahaan yang mengakibatkan rakyat miskin makin terpinggirkan. Kira-kira prestasi timnas, sebagai pelipur lara. Tak pelak, sporter mencari “obat” rela mengantri tiket, berdesakan demi menyaksikan tim Garuda. Semua canel televisi tertuju pada timnas. Benar-benar bangsa haus akan kebanggaan.

Pekikan “saatnya Indonesia juara”, pudar setelah tak mampu mengejar defisit gol dari Malaysia. Walaupun pada penysisihan Garuda Indonesia mampu menggebuk Macan Malaysia 5-1. Pertanyaanya siapa yang patut dipersalahkan dalam kegagalan timnas?
Diakui atau tidak, budaya instan telah merasuk dalam rana sepak bola kita. PSSI lebih memilih naturalisasi sebagai jalan pintas, untuk melakukan perubahan. Memang tidak salah dengan naturalisasi. Ironisnya, bangsa besar ini, ternyata kesulitan mencari sebelas pemain sepak bola. Berbeda halnya dengan Malaysia, lebih memilih mempersiapkan putra pribumi sejak dini. Tatkala pragmatisme berkubang di segala lini kehidupan, sekaligus merambah pada ranah sepak bola. Maka, tidak lain olah raga (sepak bola) mengalami pergeseran nilai menjadi primitivisme.

Dalam konteks sejarah, awalnya olahraga tidak seperti yang kita lihat seperti saat ini. Tetapi jauh lebih ‘primitif”. Bidang ini hakikatnya merupakan modal dasar untuk peperangan. Dengan olahraga, ketahanan fisik terjaga dan kekuatan bertambah.
Dua hal yang sangat diperlukan ketika bangsa-bangsa terlibat dalam peperangan. Adalah bangsa Sparta yang kemudian melakukan revolusi besar-besaran terhadap makna olahraga. Lempar lembing tidak lagi menjadikan manusia sebagai sasaran. Demikian juga dengan halnya panahan. Mereka sudah memodifikasi olahraga ini dengan mengganti sasaran. Singkatnya, bangsa Sparta memperkenalkan “olahraga” samber nyawa menjadi ajang mengukir prestasi dan keunggulan, jauh lebih beradab, naluri manusia menjadi unggul dan saling mengalahkan tetap tersalur.

Dalam perkembangannya, olahraga tidak lagi semata-mata didorong keinginan untuk mengalahkan. Jiwa olahraga mulai dirasuki pertarungan sebagai kepentingan. Tidak mengedepankan kesehatan jiwa dan raga. Melainkan dilirik sebagai peluang meraih keuntungan materi. Olahraga menjadi industri bercampur ambisi, gengsi dan prestasi. Kepentingan ekonomi, politik, social dan lainnya mulai menjadi determinan yang begitu dominan.

Olahraga kembali menjadi “primitif”. Semangat “mengenyahkan” tanpa disadari kembali menyeruak. Kredo “membunuh” lebih mengemuka. Apapun dilakukan dan segala cara menjadi sah-sah saja, demi mengejar ambisi. Maka intrik, tipu muslihat, menjadi strategi. Sepak bola misalnya, (yang) selama ini, (maaf) identik dengan olahraga “keras”. dalam bermain, tidak lagi sekadar menendang bola, pantat, dada dan kaki lawan diseruduk, ditendang diberlakukan seperti bola.

Maka kemudian, siasat sinar laser, menebarkan bubuk gatal, tidak lain adalah kredo membunuh demi mengejar ambisi gengsi, dan prestasi. Namun, apakah benar bahwa siasat tersebut adalah paling mendasar, menyebabkan kekalahan timnas kita? Sepanjang permainan di GBK, laju permainan kita tak terhentikan oleh tim manapun. Tatkala, saat tandang ke luar (away), para pemain kita seolah kehilangan kendali. Dari disini, identifikasi kelemahan harus segera dibenai?

Setelah AFF ini, semestinya sebagai titik balik bagaimana olahraga (baca: sepak bola) kembali kepada fitranya yakni mengedepankan nilai kesehatan jiwa dan raga itu sendiri. Pengamat sepak bola menyebut sukses ini, memilki arti penting, bagi sepak bola nasional. Atau merambah dalam kehidupan bangsa lebih luas.
Hal yang patut dijadikan point of view dari tim Garuda kita. Pertama, semangat nasionalisme; perjuangan pemain garuda di lapangan, mentransformasikan rasa cinta kepada tanah air kian membumbung tinggi dan berlipat.

Adakah yang salah bila kita memuja, mengidentifikasikan diri kita dengan tim merah putih, ketika bertarung di gelanggang olahraga regional atau internasional? Sama sekali tidak ada yang salah. Memang seharusnya demikian. Akan tetapi, nilai nasionalisme sepakbola kita akan menjadi nasionalisme dangkal dan hanya bersifat simbolik, tatkala hanya bersifat kasat mata, atau pupus sudah sampai disini.

Ibarat sebuah rumah, sepak bola bagaikan pajangan window show yang lansung bisa dilihat oleh setiap orang. Beranjak dari situ, diharapkan nasionalisme ini merasuk ke perabot “dapur” (republik) ini; ada ikatan erat dengan nasionalisme ekonomi, nasionalisme politik, nasionalisme pertahanan keamanan, nasionalisme pendidikan dan nasionalisme kehidupan lainnya. Oleh karenanya, spirit inilah yang harus dijadikan momentum kebangkitkan kita bersama menuju kejayaan.

Kedua, adalah nilai kedisiplinan peran arsitek strategi (pelatih), keberhasilan tim garuda, tidak lepas dari Alferd Riedl. Pelatih 61 tahun ini, mampu “meramu” pemain muda dan pemain veteran, selain itu adalah sikap ketegasan beliau. Siapapun (pemain) yang bermain tidak sungguh demi bangsa dan negara, maka tidak segan mencoret dari tim kesebelasan. Boaz Salosa bukti nyata ketegasannya, walaupun pemain Persipura ini memiliki raport bagus. Bagi Riedl, tidak ada gunanya tatkala pemain hanya setengah hati membela bangsanya.

Ketika, dua energi ini. Tidak (di)lanjutkan pemimpin dalam “meramu” bangsa. Jangan berharap bangsa kita akan cemerlang seperti timnas Indonesia sekarang ini. Sepatutnya, jiwa nasionalisme dan ketegasan mengalir deras dalam aliran darah serta tarikan nafas para pemimpin bangsa kita. Terlalu banyak masalah bangsa yang harus diselesaikan sekarang ini.

Akhir kata, tanpa tendeng aling-aling pemimpin harus tegas menindak pejabat yang berani masuk zona kritis (korupsi), menindak koruptor tanpa pandang buluh, demi tegaknya konstitusi negara. Tanpa dua energy berkekuatan “bom neutron” tersebut, rasanya sulit bagi pemimpin bangsa untuk mengurangi penderitaan hidup rakyat. Kiranya, rakyat kian lebih cinta pada tanah air, manakalah melihat “perabot” dapur (republik) ini indah, bebas dari korupsi, kemiskinan berkurang, tertanganinya pengangguran, serta tegaknya hukum. Dalam nada satir, saya teringat bersama kita bisa. Kita lihat saja, perubahan apa selepas pagelaran piala AFF ini?

*Penikmat sepak bola dan Peneliti Center for Religious and Social Studies (RëSIST),

Malang

MEMPERTANYAKAN PARKIR BERLANGGANAN

OLEH: ABDUL KHOLIQ*

Kasus mafia pajak yang menyangkut Gayus Tambunan serta menyeret sejumlah Petinggi Polisi, menggelitik hati saya. Sehingga timbul pertanyaan nakal, apakah retribusi parkir berlangganan di Kabupaten Lamongan ada kesamaan dengan modus itu yakni diplintirkan? Pertanyaan itu muncul karena sejauh ini masyarakat telah diwajibkan membayar retribusi sebesar Rp. 20.000 setiap perpanjangan STNK.

Ironisnya, ketika masyarakat sudah melakukan wajib pajak, tidak dibarengi dengan adanya pelayanan dinas terkait, yang diberikan kepada masyarakat Lamongan. Dalam artian, masih ada kegamangan, ketidakjelasan areal parkir yang dimaksud, dimana masyarakat harus merasakan bebas parkir.

Menurut saya apabila hal ini dibiarkan, apa bedanya dengan kasus Gayus Tambunan itu, tidak ada bentuk transparansinya. Kekecewaan itu muncul, sebab ada dan tidaknya parkir berlangganan tidak berpengaruh, tidak menjamin bagi masyarakat, apalagi menguntungkan bagi rakyat. Sebab, masyarakat tetap harus merogoh kocek untuk jukir, padahal parkir berlangganan sudah dibayar. Lantas, dimana letak pelayanan, pemihakan pada rakyat?. Kebingungan saya juga mempertanyakan, apakah ini bentuk pajak atau retribusi.

Ketika berbicara retribusi, sepatutnya ada jasa yang bisa dinikmati. Contoh: retibusi kebersihan, masyarakat telah membayar retribusi tersebut kepada Dinas Kebersihan, disana ada mutualisme yaitu adanya pelayanan kebersihan. Nampaknya, parkir berlangganan ini belum tahu kejelasan seperti apa?

Menyitir dari Iklan pajak, setiap orang yang ingin jadi patriot bangsa, caranya mudah dan gampang cukup membayar pajak dengan jujur jadi deh… atau dengan jargon “hari gini tidak membayar pajak, apa kata dunia” Luar biasa, membayar pajak mampu membangun karakter bangsa. akan tetapi apabila tidak diimbangi dengan kejujuran para petugas dan penguasa, nampaknya mencederai sendiri jargon agung tersebut.

Oleh karena itu, tatkalah masyarakat sudah tertib pajak (parkir berlangganan), pemegang kendali seharusnya “tertib” tidak adem ayem, tanpa memikirkan pelayanan terhadap masyarakat. Disinilah yang harus dipertegaskan sekaligus diperjelas, sehingga masyarakat tidak hilang rasa kepercayaan kepada penguasa terkhusus Dinas Perhubungan Lamongan. Lewat surat pembaca ini semoga ada bentuk tindakan dari pemerintahan Lamongan. Tentunya kami tidak ingin ada Gayunisasi pada retribusi parkir ini. Apa kata dunia, jika tidak ada pelayanan dari hasil pajak (retribusi parkir berlangganan).

*Desa Karangtawar-Laren-Lamongan, aktivis IMM UIN Maliki Malang

MEMAKNAI AGAMA SEBAGAI KRITIK SOSIAL

Oleh : Abdul Kholiq*

Judul buku : Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan
(Menuju Demokrasi dan Kesadaran Bernegara)
Penulis : Dr. Moeslim Abdurrahman
Penerbit : Impulse
Cetakan : I, 2009
Tebal : 296 Halaman


KUALITAS keimanan atau tingkat kesalehan spiritual seseorang seringkali dilihat dari sisi ibadah formal. Meningkatnya jumlah jama’ah haji dari tahun ke tahun bahkan ada yang lebih dari sekali atau dua kali berhaji, makin ramainya masjid dikerumuni oleh jama’ah sholat, dan makin kencangnya hembusan suara bacaan al-Qur’an disaat bulan ramadhan, mempercantik masjid sebagai rumah impian di surga.

Hal tersebut menjadi indikakator kesadaran seorang dalam beragama.
Namun, kenyataan tersebut tidak sejalan atau berbanding lurus dengan mengurangnya jumlah kemiskinan bahkan cenderung bertambah. PHK pekerja akibat krisis yang dialami perusahannya, penggusuran PKL yang mayoritas menjadi tempat orang miskin untuk mengais rezkinya, eksploitasi alam besar-besar oleh perusahaan yang mengakibatkan rakyat miskin makin terpinggirkan.

Ditambah lagi dengan keterbatasan akses politik, sosial dan ekonomi bagi mereka, makin menambah kesulitan orang miskin untuk memperbaiki kehidupannya. Lantas, dimanakah peran agama secara individual maupun institusional/ organisasional?. Orang yang mengaku beragama ketika memegang kekuasaan, dimanakah kebijakan yang institusional yang lebih memberikan akses bagi kaum miskin?

Kegelisahan keagamaan tersebut kiranya terjawab dalam buku Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan, yang ditulis DR. Moeslim Abdurrahman, walaupun belum sampai pada kesempurnaan (masih terbuka ruang diskursusnya). Bagi Moeslim, sosiolog yang hidupnya bergelut dalam dunia Pemberdayaan, LSM dan Ormas, makna Islam yang paling murni bukanlah terletak pada rumusan teologisnya (apalagi yang dibukukan para ulama), tetapi muncul dari pergulatan hidup sehari-hari para umatnya untuk menegakkan keadilan, keadaban (amar ma’ruf), dan menghidupkan cita-cita kemanusiaan yang merdeka, bebas dan terhormat (nahi ‘annil munkar) (h. 7).

Buku tersebut sangat menggelitik determinasi faham keagamaan kita selama ini. Tidak cukup dengan itu, manifestasi prilaku keagamaan yang selama ini kita anggap benar, seperti memperkaya ritual keagamaan, sholat dan haji, mempercantik wajah dengan berjilbab, menemukan titik kering fungsi keagamaan kita ketika membaca buku ini.

Kesalehan ritualistik sekarang ini lebih banyak dipertontonkan dengan ungkapan yang mahal dan bergengsi (seolah-olah menjadi gaya hidup) dibanding sebagai sebagai kekuatan yang asketik tentang pentingnya menegakkan nilai-nilai kesetaraan yang lebih manusiawi. Lebih lanjut, bagaimanapun khusuknya ibadah kita, sebuah kesalehan tak akan memberikan makna yang sejati, jika kesalehan itu tidak mengalirkan makna perubahan. Mengamalkan Islam, mengamalkan kesalehan, adalah sama halnya melakukan kritik sosial dalam rangka menghidupkan terus-menerus cita-cita keadilan dan kesetaraan manusia itu sendiri. Kata Doktor lulusan University of lllinois, Urbana, Amerika Serikat ini.

Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah argumentasi sosial yang transformatif, didasarkan pada rasional-obyektif, kenyataan sosial, pengalaman hidup orang lain maupun penulisnya sendiri ketika bersinggungan dengan kemungkaran sosial yang dihadapinya. Bukan pada refleksi teologis yang fiktif, ahistoris dan utopis, tetapi dialektika teks-teks suci dengan kenyataan riil kaum pinggiran, kaum mustadh’afin. Sehingga, tidak berlebihan kiranya buku Suara Tuhan Suara Pemerdekaan, menemukan relavansinya dalam memberi konstribusi penyelesaian kehidupan sosial kita.

Dalam buku ini, Moeslim mengatakan dan sekaligus menawarkan bahwa Islam bersuara transformatif . Islam lahir sebagai kritik sosial terhadap hegemonitas struktur sosial yang tidak adil yang membuat marginalisasi kaum pinggiran. struktur yang tidak adil juga membatasi akses perubahan bagi kaum marginal. Kang Moeslim selalu mengkategorisasikan tiga tingkat kemiskinan, kemiskinan institusi politik, kemiskinan institusi ekonomi, dan kemiskinan institusi keagamaan. Kaum pinggiran tidak diberi kesempatan untuk memutuskan sendiri.

Karakter normatif Islam pada dasarnya bersifat populis dan egaliter, yaitu bahwa setiap manusia dilahirkan mempunyai peluang yang terus menerus untuk mendapatkan tingkat ketakwaan yang sama dihadapan Tuhannya. Sehingga apapun hambatan struktur sosial yang mengitari seseorang, jika seseorang tersebut diberi peluang mengubah nasibnya , maka ia akan muncul sebagai human agency yang dapat mengubah hambatan struktur tersebut.

Dalam mewujudkan perubahan transformatif, dengan kepercayaan setiap manusia memilki kemampuan sendiri, tidak ada manusia yang serta merta mati dalam strukturnya karena kehidupan pada dasarnya merupakan proses sejarah yang terus menerus bergerak dan pergerakan sejarah sesungguhnya merupakan pergulatan antara “kesadaran” yang terus menerus melakukan negosiasi dengan kemapanan struktur sosial, ekonomi dan politik “ungkap Moeslim”.

Yang menjadi sebuah pertanyaan adalah, dari manakah perubahan harus dimulai? apakah lebih menentukan struktur atau kultur yang menguasai kehidupan umat manusia. Penulis berpendapat, bagaimanapun tetap saja relevan kalau kita tetap konsisten bahwa agama merupakan kehendak Tuhan yang meneguhkan cita-cita emansipasi sebagai tujuan ketaqwaan yang paling tinggi. Dengan demikian, teologi merupakan bentuk kesadaran manusia yang paling tinggi dengan suara keimanan dan keyakian seseorang menjadi spirit pemerdekaan dari setiap struktur yang menindas, apapun bentuknya.

Mereka yang percaya bahwa struktur merupakan kekuatan deterministik pasti menganggap, bahwa kultur selalu tidak otonom dari struktur. Moda interpretasi dari kultur sangat dipengarui oleh moda produksi, sehingga orang-orang kaya dibandingkan dengan yang ekonominya lemah tentu mereka memproduksi makna-makna kesalehan dan ekspresinya yang berbeda berdasarkan lapisan sosial mereka.

Namun jika teologi yang berwatak pemerdekaan mampu memberikan suara perlawanan simbolik, dengan mengartikulasikan kesadaran-kesadaran penindasan yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, maka agama akan muncul sebagai kekuatan provetik dan bukan sebaliknya malah menenteramkan kesadaran palsu, bahwa orang miskin ya bagaimana tidak miskin, toh mereka memang lahir dalam struktur sosialnya yang miskin.

Karena itu, orang miskin akan tetap saja rugi di dunia dan diakhirat, sebab biarpun sebagai ”subjek” manusia mereka diciptakan sebagai rumpun yang sama, rumpun manusia yang hanif. Tetapi, karena daya beli untuk berbelanja ”kesalehan” mereka miskin, tetap mereka menjadi ”objek” dalam pembentukan makna ke-islaman dan dalam mewujudkan ke-umat-an sebagai bentuk kolektifitas keimanan.

Jika dibawa ke dalam konteks praksis di Indonesia, maka sepakat atau tidak, sekarang ini bentuk nasionalisme kita yang masih terawat dengan baik tinggal bentuk artefaknya saja. Bendera masih merah-putih, orang-orang masih membutuhkan KTP dan paspor sebagai identitas kewarganegaraan dan nama pahlawan yang tetap terpampang di jalan-jalan protokol. Akan tetapi, nasionalisme sebagai kesadaran, sebagai solidaritas kebangsaan, dan sebagai kebanggaan terhadap bangsa rasanya semakin tidak jelas.

Kejadian busung lapar, gizi buruk, soal anak murid bunuh diri akibat tidak mampu membayar uang sekolahnya, kaitannya dengan soal penghematan yang diseruhkan secara moral sekarang ini, apakah mungkin seruan seperti itu berpengaruh kalau Negara juga kelihatan malu melakukan regulasi, kalau nasionalisme juga tidak lagi mengalirkan solidaritas sosial, kalau partai-partai kehilangan cita-cita politiknya, apalagi jika ternyata agama-agama telah berubah menjadi oggokan ormas, masihkah ada harapan keadilan yang populis?. (h. 188)

Pertanyaan ini mengingatkan kita betapa miskinnya konsep dan makna politik yang kita miliki. Benar bahwa kita mempunyai KTP, mempunyai nomor wajib pajak, mempunyai Negara, juga mempunyai kelembagaan formal politik yang disebut partai-partai. Namun, semua perangkat politik yang kita miliki itu, ternyata tidak mampu menyentuh masalah sosial bahwa realitas seperti busung lapar dan meninggalnya anak-anak yang diimunisasi polio itu seharusnya menjadi panggilan suci politik kita untuk mengatasinya.

Ironis memang, tatkala perjalanan bangsa ini terpuruk seperti sekarang ini, kita kehilangan patriotisme dengan makna baru, kita juga kehilangan makna demokrasi sosial yang baru, bahkan keimanan kita juga telah redup dalam birokrasi agama masing-masing, dan lupa akan adanya teologi sosial yang baru yang bisa menggugah solidaritas, yang merupakan nilai paling tinggi yang harus dijunjung bersama dalam bermasyarakat.

Disinilah kehadiran teologi baru menjadi tumpuan dan harapan untuk teratasinya kemelut sosial dan kemanusiaan. Sebuah rumusan syari’ah yang pro-kemanusiaan, yang mungkin bisa membangkitkan kembali kesadaran, bahwa kesengsaraan bukanlah merupakan gejalah ekonomi dan politik dimana korbannya harus memikul semua secara individual, tetapi sesunggunya merupakan tantangan kemanusiaan yang harus dijawab dengan tanggung jawab bersama-sama.

Dengan kerja teologis, setiap agama akan mampu mengeluarkan cita-cita sosilanya, tanpa harus menghilangkan keunikannya masing-masing dalam praktik ritual dan penghayatan spiritualnya. Akankah agama-agama mampu melakukan kerja sama membangun teologi sosial yang baru yang bisa menyuarakan secara politik bahwa “Suara Tuhan adalah suara orang miskin”atau” tangisnya orang lapar adalah tangis Tuhan”, sehingga sejarah kesengsaraan manusia bisa berubah. Mudah-mudahan saja semua ini dapat terwujud.

*Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang