Pengunjung Blog

Sabtu, 12 Maret 2011

GEDUNG (“PENCAKAR”) RAKYAT

OLEH: ABDUL KHOLIQ*
DANA fantastis untuk pembangunan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menelan dana kurang lebih 1,3 trilyun  menuai protes dari masyarakat. Kendati demikian, DPR sebagai penyambung lidah rakyat, seolah tidak mau mendengarkan “jeritan” rakyat.
Kenaikan harga bahan pokok dan kondisi ekonomi yang tidak menentu semakin menekan rakyat. Agar bertahan hidup, sebagian penduduk terpaksa berutang atau mengurangi makan. Namun, ada pula yang mengambil jalan pintas dengan bunuh diri (Kompas,7-01-11’).
Adalah potret bagaimana akutnya permasalahan “jubah” republik kita. Diluar radius itu, kemiskinan kian melunjak, korupsi mencekeram, belum tuntasnya pekerjaan rumah (PR) kasus century, rekening gendut polisi dan lainnya. Para wakil rakyat malah bersikukuh membangun monumen sendiri. Menyaksikan simpang siur perilakau elite kita akhir-akhir ini. Hati saya bertanya-tanya, dimana letak nurani mereka? Apa yang kau cari wahai wakil rakyat?.
Rakyat kecil hanya menjadi penonton tingkah para elit politik. Kita (rakyat) terpesona menyaksikan para politisi saling berebut “tulang” politik tanpa sekali pun menoleh ke bawah. Perdebatan di parlemen silih berganti, tak ada ujung penyelesaian. Hanya menghasilkan sandiwara seolah memperjuangkan wong cilik. Padahal, fetback selama ini belum sepenuhnya tertujuh pada kemaslahatan kaum papa. Hanya sebatas tontonan saban tiap ada kasus besar menjadi konsumsi publik.
Pendek kata, popularitas jarang dibangun dari keringat kerja politik, melainkan iklan politik belaka. Diakui atau tidak, Anggota Dewan sama sekali belum (baca: tidak) merepresensikan rakyat, potret sebagai wakil rakyat buram akibat kebijakan mereka tidak untuk kehendak umum. Tetapi, bagaimana pengambilan kebijakan selalu di putar-putar dan ujung-ujungnya mengarah pada kepentingan komunal tertentu atau golongannya.
Maka kemudian, janji-janji yang disampaikan dalam kampaye bak malaikat penyelamat, adalah omong kosong belaka. Sebab, ditengah “tangisan” prahara bencana korupsi, bencana ketidak adilan, bencana lemahnya hukum atau bencana alam selama ini yang menimpah masyarakat Indonesia. Justru tindakan yang dilakukan para pemangku kebijakan justru diluar etika. Sekalipun, para Anggota Dewan pernah “memburu” etika nun jauh di Yunani.
Sedemikian hingga, maka kemewahan gedung parlemen sepertinya tidak ada relevansinya dan arti subtansinya, manakala tidak diimbangi dengan kinerja maksimal. Indahnya monumen wakil rakyat sepertinya hanya akan menjadi “pencakar” rakyat. Kalau tidak ada idealisme untuk memperjuangkan rakyat. Apalagi para penguasa  sambil bersenandung dalam kursih kemegahan sementara rakyatnya terkungkung dalam lumpur kesengsaraan. Terima kasih.
*Mahasiswa Matematika Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang